Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2011

Objektivitas Jurnalis, Dipertanyakan.

Dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel termaktub pernyataan 'kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran' yang dijadikan elemen pertama yang mesti dimiliki seorang jurnalis. Dan, sejauh mana kita-para jurnalis-memahami makna kebenaran yang kebanyakan tafsirannya tersirat dalam pelbagai persepsi? Kasus Robert McNamara (Menteri Pertahanan Amerika) ketika perang di Vietnam menjadi sorotan dunia. Bagaimana mungkin McNamara yang ditugaskan Lyndon Johnson (Presiden Amerika kala itu) ke Vietkong melakukan kebohongan publik. Ia tidak menyatakan kebenaran saat pertemuan pers di bandar udara Tan Son Nhut tetapi apa yang diucapkannya menjadi sebuah fakta saat itu. Setelah delapan tahun kemudian, New York Times dan Washington Post membongkar fakta yang sebenarnya berdasarkan dokumen rahasia Amerika (Pentagon Papers) bahwa situasi Vietnam seperti neraka; berbeda dengan laporan McNamara. Kasus ini memperumit para jurnalis; ternyat

LARANGAN BERMUKA MASAM

Entah apa yang merasuki saya kala itu. Senyum yang sering terukir di wajah saya sejenak hilang dan berganti dengan kemasaman.Memang saya sedang dilanda pikiran yang seambrek: mengerjakan tugas-tugas dosen dan persiapan untuk ujian. Waktu mendesak saya. Tiba-tiba teman saya 'UN' bertanya tentang pelajaran yang sulit saya pecahkan. Pertanyaannya membuat saya muak. Lalu saya hanya diam dan menunjukkan wajah masam. Ia pun pergi dengan rasa kecewa. Kenapa saya bersikap begitu? Ini pertanyaan yang harus saya pecahkan. Saya tetap merasa ini sikap yang tepat.Sesampainya saya di asrama-shalat maghrib-lalu membuka Al-Quran. Tanpa saya sadari lembaran Al-Quran terjemahan itu tertiup oleh derasnya kipas angin dihadapan saya. Dan berhenti pada lembar yang bertuliskan surah 'Abasa.Saya kaget ketika membaca terjemahannya 'Ia Bermuka Masam'. Saya baca, baca, dan baca hingga akhir ayat. Dalam Q.S. 'Abasa: 1-16 dijelaskan bahwa surah itu turun karena kejadian:&

Agama Saya Cinta Damai

Lagi, syariat agama dijadikan tameng untuk melanggar hak-hak kemanusian tanpa memahami kewajiban yang harus ditempuh lebih awal. Tindak kekerasan semisalnya. Tercorengkah agama saat si penganut mencemarkan kefitrahannya? Jelas tidak. Setiap agama pada hakikatnya mencintai kata sakral ini: 'Kedamaian'. Kembali lagi kepada sipenganutnya yang memahami syariatnya dalam arti sempit. Menulusuri siapa yang salah dan siapa yang benar akan menjadi perkara mudah saat kita menjauhkan asumsi bahwa agama ikut campur dalam masalah ini. Sekali lagi, atas keterbatasan manusia, sangat besar memungkinkan menyalahinya. Sebenarnya penganut agama tidak usah membawa nama agama saat masalah yang universal menguak. Tapi bagaimana jika masalah itu menyangkut tentang keagaman. Jelas solusinya akan didapatkan dari syariat agama tersebut. Malah hukum negara juga harus mempertimbangkannya dengan agama yang bersangkutan. Baru-baru ini penganut Ahmadiyah yang mengaku Islam tetapi denga

PERSPEKTIF JURNALISME (Informasi Menciptakan Demokrasi)

Siapa sangka bahwa lahirnya jurnalisme pada akhir Abad Pertengahan, ditandai dari berita yang bermunculan dalam bentuk balada kisah, cerita, dan bahkan dalam bentuk lagu yang disenandungkan oleh pengamen jalanan. Jurnalisme modern yang sekarang kita ketahui ternyata berkembang dari perbincangan ringan di tempat umum seperti kafe di Inggris hingga kedai minum di Amerika. Akhirnya muncullah surat kabar pada 1609 yang dicetak dari sumber perbincangan, gosip, dan argumen publik mengenai apa saja di kedai-kedai tersebut. Tak dapat dielakkan. Ternyata bangsa Yunani-bangsa perintis demokrasi-sudah lebih dahulu melakukan ritual tersebut di pasar-pasar umum. 'Hampir semua yang penting tentang urusan tersebut dibuka untuk umum,' tulis pengajar jurnalisme, John Hohenberg. Sedangkan masyarakat Romawi mengembangkan konsep 'acta diurna' oleh Senat Romawi, yang ditulis di atas papirus untuk ditempel di dinding jalan. Lalu, muncullah spekulasi tentang pengaruh jurnalisme terhadap ter

BEGITU NIKMAT (Warisan Kuliner Khas Simalungun)

Gambar
Perjalanan mengitari pulau Samosir saya hentikan di sebuah warung khas batak 'Opung Simarmata'. Saya memilih warung ini karena merasa bosan menjejali makanan di Rumah Makan Khas Padang yang bercecer di penjuru kota yang pernah saya kunjungi. Lagipula ini adalah momen yang tepat untuk memanjakan lidah dengan kuliner tanah batak. Saya memilih meja kayu didampingi kursi panjang berpernis kilat yang berada di pojok. Cukup nyaman. Saya terkaget ketika mendengar suara pramusaji yang menanyakan saya mau pesan menu apa. Suara khas batak mengusik kenyamanan saya sejenak. 'Saya pesan nasi putih plus ayam ura, minumnya teh kelat,' saya menjawab dengan mantap. Lantunan lagu 'Dago Inang Sarge' terdengar melalui radio tape tua di tempat itu. Dahulu ayah saya yang berdarah batak sering menyanyikan lagu itu, tapi saya terlahir tanpa diwarisi bakat bahasa batak, hingga saya hanya mampu menikmati irama musik itu- tanpa tahu maknanya.  'Silahkan,' suara pramusaji i