Lee Min Ho Jadi Aladin
Bersembunyi
di balik selimut tebal adalah kebiasaanku saat udara dingin seperti sekarang ini.
Ditemani secangkir cappucino favoritku. Ditambah lagi menyuruput mie instan
buatan kakak. Wah, dunia bagaikan milik sendiri. Eits... ada yang lupa! Kurang
afdhal rasanya kalau nggak nonton drama pastinya.
Dalam
kondisi cuaca seperti ini pasti seru nonton drama korea yang romantis-romantis.
Yap, kugerakkan kursor laptop di hadapanku dan pilihanku jatuh pada Love Rain.
Itu loh Drama Korea yang dibintangi Yoona SNSD dan Jang Geun Suk.
1
Jam 5 menit kemudian
Episode
pertama berjalan mulus. Lanjut ke episode kedua. Hajar Terusss...
“Mio... Mio... Mio...”
Sepertinya
ada yang memanggilku. Kulepaskan headseat dari telingaku. suara Kak Rini
ternyata. Pasti aku disuruh lagi.
“Beliin dulu minyak
lampu,” sambung kak Rini.
Benar
kan, tebakanku 100% akurat. Sebenarnya aku itu adik yang rajin dan nggak
perhitungan, tapi... Kak Rini sudah nyuruh aku lima kali di pagi ini. Sekarang
harus ngebabu lagi. Menyebalkan!
“Kak... aku lagi
ngerjain tugas nih.” Aku pun memelas.
“Tak usah banyak alasan
adekku sayang... lekas beli. Kakak tau kau lagi ngapain. Kau pikir,
sering-sering nonton drama Korea, mukamu jadi mirip orang Korea. Hatop-hatop,
duitnya dah kakak tarok di atas meja tamu kita sama kunci kereta. Hati-hati
ya!”
Ku-pause-kan Love Rain dengan sangat-sangat
berat hati. Perlahan aku menuju ruang tengah. Aku dikejutkan oleh sesosok buruk
rupa di depan cermin. Hya... itu aku. tidaaakkkk!!!
“Kak Rin... aku mandi
dulu yaakkk.”
“Mandi-mandi. Kakak
perlu untuk masak sekarang. Nunggu kau mandi berapa jam lagi? Tak buka-buka
jualan kita nanti.”
“Aku mandi cuma
sebentar kok.”
“Macam tak tau aja
kakak kalau kau mandi sampai berjam-jam, di Batam dulu suara kakak kedengaran tau
sampai satu komplek Batu Aji gara-gara nyuruh kau mandi cepat,”
sahut kak Yuni yang lagi ngeberesin kamar tidur yang baru saja aku tinggalkan.
“Haiiish... gitu kali
lah kakak-kakakku yang cantik-cantik ini. Adekmu lagi jelek nih, disuruh keluar
beli minyak lampu pula, tempatnya di sebelah sekolahku dulu lagi. Malu lah!
Entar orang liat bakal bilang ‘percuma kakak –kakaknya cantik, tapi adeknya
marsamburetan (berantakan)’.”
Aku
mencoba membujuk kakak-kakakku, tapi hasilnya nihil. Aku pun terpaksa beralih
profesi dari mahasiswa menjadi babu kalau di rumah.
“Sudah beli dulu sana.
Air kita pun sudah sikit dek. Mati lampu dari tadi pagi. Entar kau mandi sunge
aja,” kak Yuni ngelanjutin omelannya.
“Fuih... yaudalah.”
I give up.
Ibarat film nih ada soundtrack-nya, sountrack yang paling cocok untukku di
rumahku tercinta ini adalah lagunya Seventeen, Mengapa Selalu Aku yang
Mengalah.
Aku
pergi menghampiri cermin lagi, berharap dapat menata muka yang sampai siang
begini masih berserakan. Kutatap
wajahku, mmm... mirip banget sama Lee Min Ho, lebih tepatnya Lee Min Ho yang
nggak pernah mandi satu tahun. Well
Okkay, Let’s fortget it.
“Aku
pigi ya kak.”
“Ya hatop-lah (cepat),
dah kayak artis Korea-nya kau, itu loh si Leminhokkk,”
bilang kak Tati dengan logat bataknya.
“Hadeoohh... Yang benar
itu Lee Min Ho kakak.”
Kuambil
kunci dan sejumput uang dari meja tamu, lalu aku menuju teras rumah dengan
harapan si Smashter, kereta Smash hitam yang selama ini setia kutunggangi
keliling kampung, sudah diisi tangki minyaknya.
Kulihat
meteran minyak si Smashter. Arrggghhh... jarumnya tepat berada pada tulsian E (Empty, kosong). Oh... Damn!
“Mau kemana, Nak.”
Ayah mengagetkanku.
“Mau beli minyak lampu,
Yah, di agen minyak. Dekatnya.”
“Hati-hati ya.”
“Iya Ayahku yang mirip
Maggy Z.” (kata-kata setelah “Ia Ayahku” hanya di
dalam hati. Bisa di geplak karena ngeledekin ayah)
“Nah, Ini udah abang
beliin minyak satu liter.”
Dengan
mata berbinar-binar aku merampas kemasan air mineral yang berisi bensin dari
tangan bang Budi. Kemudian kuisi tangki si Smashter. Gluk... gluk... gluk...
“Eh tunggu... tunggu...
tunggu... mau beli minyakkan? Abang nitip bakso ya.”
“Hallahh... macam nggak
bisa abang beli sendiri, dekat aja pun. Nanti aku lama loh bang.”
“Mau kemana lagi kau,
belum mandi. Habis nanti minyak kereta itu.”
“Ok-lah bos, siap melaksanakan”
Kuputar
tutup tangki si Smashter. Aku cepat-cepat kabur menjauhi rumahku yang di penuhi
Naga. Kami cicitnya opung Sinaga. Meski nggak ada kaitan antara Sinaga dan
Naga. Tapi sepertinya ada kesamaan dari keduanya, yaitu suka nyembur. Kalau Naga
nyembur api dari mulutnya, nah kalau orang yang menyandang kata Sinaga di
belakang namanya suka nyembur omelan.
Beginilah
nasib jadi anak bontot, alias anak terakhir Ayah Arifin Sinaga dan Mama Faina
menjadi hamba sahaya dari bang Budi, kak Rini, Kak Tati, dan Kak Yuni.
***
Matahari
sudah berubah, cerah. Dan roda si Smashter terus berputar menyusuri jalanan
kampung.
Sial!
ternyata sudah kelewatan. Ini dia kebiasaan burukku, suka nyasar walau di
kampung sendiri. Padahal baru setahun aku menetap di Medan untuk kuliah. Well, it’s time to back again.
Akhirnya,
aku sampai... Is it righ? Ini
pangkalan minyak atau Mall. Ramai banget antriannya. Seperti antrian kasir di
Mall saat menjelang lebaran. Bakalan lama nih kelarnya.
Ini
akibat kebijakan pemerintah yang ngebatasin jatah minyak tanah yang konon
katanya sudah langka. Alhasil, ibu-ibu yang harusnya jam segini ngeladenin
makan suaminya yang baru pulang bekerja dari sawah dan anak-anaknya sehabis pulang
sekolah, sampai jam segini masih ngantri di kilang . Jelas saja orang Indonesia
banyak yang cerai. (Sok Tahu! *plak)
Aku
pun masuki antrian. Menenteng jerigen minyak tanah dengan wajah kusut. Lengkap sudah penderitaanku hari ini.
“Min Ho, lagi ngantri
ya?” tanya Vina.
“Eh... Bu guru. Yap,
lagi ngantri nih Vin. udah 5 menit. Vina ngantri juga?”
“Enggak, tadi cuma
lewat, aku liat dirimu di sini, aku sapa deh. Gimana Kuliah Min Ho?”
“Amazing. Hehehe...
Vin, baru siap ngajar ya?”
“Ya vin. BTW, dirimu
sudah dapat lampu wasiat kamu yang hilang belum ketemu?”
“Hahaha... Masih ingan
Min, tentang drama kita dulu. Belum, belum dapet Min. Jangan-jangan kamu yang
nyuri Min,” Ledekku.
“Eits...
masak Jasmin, kekasih Aladin yang nyuri.”
Aku
tersenyum sambil memikirkan“Andai saja Vina beneran jadi kekasihku.”
“Oh ya
aku pulang dulu bentar lagi mau ke kampus nih, nanti malam singgah ke rumah ya.
Bye!”
“Bye!”Kulambaikan
tangan dan kutatapi Vina hingga menghilang dari pandanganku.
Ternyata berantri-antri ria di pangkalan
minyak ada hikmahnya juga, aku bisa jumpa Vina. Pangkalan minyak pun berubah menjadi taman yang indah saat Vina
didekatku. Vina itu teman sekolahku di masa putih abu-abu. Sekarang dia
mengajar di sekolah, tempat kami pertama kali bertemu. Vina sering memanggilku
Min Ho sejak aku mendeklarasikan diri sebagai penggemar drama Korea.
Teman-teman
sering meledekku dan Vina cinlok (cinta lokasi) setelah pertunjukan drama “Mencari
Lampu Wasiat Aladin”. Aku mengamini. Tapi Vina belum tentu. Karena aku tidak
seromantis aktor-aktor drama Korea saat itu. Aku belum berani mengatakan
“Saranghe” (I Love You).
Aku
kebagian peran sebagai Aladin dan Vina sebagai Jasminnya. Dulu, aku senang
banget dapat peran Aladin karena saat masih bocah ingusan aku memang ngefans
sama Aladin, pemuda gagah dari negeri 1001 malam yang mendapatkan lampu wasiat
berisi jin sakti yang dapat mewujudkan 3 permintaan tuannya.
Anyway,
yang buat aku pengin jadi Aladin itu karena Aladin punya lampu wasiat.
Jadi
begini, kalau saja aku beneran jadi Aladin, automatically
aku bakal punya lampu wasiat yang berisi jin itu.
Twing....
si Jin pun keluar dari benda yang lebih mirip ceret itu.
“Terimakasih
tuanku. Aku akan menggabulkan apa saja permintaanmu, tapi hanya tiga saja,”
kata om Jin gendut yang mirip badut.
“Beneran
nih, janji yah, apa aja!”
“Swear...
Tuanku.” Om jin mengangkat jari tengah dan telunjuknya.
“Pertama, aku minta
supaya abang dan kakakku tak memperlakukanku seperti babu lagi”
“Ah Gampang,”
kata om Jin.
“Ini adalah kali
terakhir tuanku disuruh abanga dan kakak tuan,”lanjut
om Jin.
“Asyik... Permintaanku yang kedua : ‘Buat si
Vina jatuh cinta sama aku! Hehehe...’.”
“Cinta tuan bertepuk
sebelah tangan ya?”
“Enak aja, aku masukin
lagi kamu ke dalam lampu wasiat nanti. Aku cuma belum siap ditolak, makanya aku
tak pernah nembak dia.”
“Ampun tuan, ampun
tuan. Baiklah tuan nanti malam tuan kan akan ke rumah si Vina. Ungkapkan saja
perasaan tuan. Dia tak akan nolak.”
Hanya
satu kebodohan si Aladin; Aladin nggak mau minta si Jin untuk mengabulkan 100
lagi permintaan pada satu dari tiga permintaanya.
“Okkay lah Jin, tadi
janjikan ngabulin apa saja permintaan tuanmu ini?”
“Iya tuan. Swear...
samber geledek.”
“Permintaanku yang ketiga,
kau harus MENGABULKAN 100 PERMINTAANKU LAGI”
“WHAT???”
“Om Jin kan sudah janji.
Entar disamber geledek loh!”
“Sial!
Jadi nambah job nih,” gerutu Om Jin.
“Eits... Ngomong apa
tadi?”
“Baik lah tuanku, akan
kukabulkan 100 permintaanmu lagi.”
Yeah,
ada 100 permintaan lagi yang bakal dikabulin om Jin. Bisa minta keliling dunia
ni naik permadani, menikmati musim semi di Choncheon Korea, Diving di Pukhet,
Thailand, Menikmati salju sambil makan roti berselai Mapple di Kanada, dan
banyak lagi keinginanku yang bakal dikabulin. Yes... yes... yes... (sambil jingkrak-jingkrak)
“Dek...
Dek... Yang kemasukan hantun kuda kepangnya kau dek?” tanya agen minyak
tersebut, panik.
“Ii..iyaa
wak... eh enggak wak”
“Kok
jingkrak-jingkak kau?”
“Sorry
wak. Tadi ngelamun wak.”
“Beginilah anak muda
sekarang. Dimana-mana ngelamun. Yang udah mabuk cintanya kalian. ...”
Agen minyak tersebutpun mengoceh sambil menuang minyak tanah ke jerigenku.
Lalu,
aku keluar dari antrian dengan menenteng jerigen minyak tanah sambil
senyum-senyum kegirangan. Cintaku Bersemi di Kilang Minyak. Aku berharap 3
permintaanku terkabul.
Bruuummm...
Roda si Smashter kembali menyusuri jalanan kampung. Sekarang si Smeshter tidak
lagi ditunggangi oleh makhluk malas dan manja, aku sudah bersemangat. Bersemangat
untuk menyatakan perasaanku kepada Vina nanti malam. Cihuy...
Komentar
Posting Komentar