BELAJAR ISLAM DI NEGERI NONMUSLIM (Biografi Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A.)
Oleh
Romi Aswandi Sinaga
Dia
dilahirkan pada Jumat, 15 Agustus 1958 di Pakan Rabaa Payakumbuh, sebuah desa
kecil yang terketak di kaki Gunung Sago, sekitar 15 km dari kota Payakumbuh. Payakumbuh
adalah Ibu kota Kabupaten Lima Puluh Kota, salah satu dari tiga Luhak
yang membentuk alam Minangkabau. Luhak bisa berarti sumur, namun
apabila dihubungkan dengan daerah, maka ia berarti nagari (negeri),
daerah, atau distrik. Alam (wilayah) Minangkabau terdiri atas 3 (tiga) luhak,
yaitu pertama, Luhak Lima Puluh Kota dengan Payakumbuh sebagai ibu
kotanya, kedua, Luhak Agam dengan Bukittinggi sebagai ibu kotanya, dan ketiga,
Luhak Tanah Datar dengan Batu sangkar ibu kotanya. Daerah selain dari
ketiga luhak di atas disebut oleh masyarakat Minangkabau dengan “rantau”.
Saat ini Payakumbuh sebagai ibu kota
Kabupaten Lima Puluh Kota telah menjadi Kota Madya Payakumbuh. Orangtuanya
semula berdomisili di kota Payakumbuh, namun karena terjadinya peristiwa
pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang
menyebabkan keadaan tidak kondusif untuk tetap berada di kota Payakumbuh, maka
kedua orangtuanya memilih untuk mengungsi ke desa Pakan Rabaa di kaki Gunung
Sago yang masih bagian dari wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota. Pada saat
pengungsian tersebutlah dia lahir. Setelah peristiwa PRRI reda dan suasana di
kota Payahkumbuh pulih kembali, dia sekeluarga kembali ke kota Payakumbuh,
tempat dia mulai tumbuh dan memasuki dunia pendidikan, khususnya di tingkat
pendidikan dasar.
Dia berasal dari sebuah keluarga sederhana,
baik dari segi ekonomi demikian juga dari segi pendidikan. Kedua orangtuanya
berasal dari suku Minangkabau, tepatnya dari desa Taluak (Ayah) dan desa Parit Lintang
(Ibu), yang kedua desa tersebut terletak di Kecamatan Banuhampu, di kaki Gunung
Merapi, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Suatu kali, di saat peringatan hari
besar Islam di akhir tahun 1960-an, diundang ke Mesjid Taqwa Banuhampu Payakumbuh
itu seorang putra Banuhampu yang baru saja pulang dari menamatkan studinya di
Universitas Al-Azhar Mesir, yaitu Buya Haji Labai Baharuddin, M.A., terakhir
beliau adalah Rektor IAIN Imam Bonjol sebelum meninggal dunia karena tenggelam
bersama pesawat Merpati yang jatuh di Pantai Padang di awal tahun 1970-an,
untuk mengisi ceramah dalam rangka tabligh akbar. Buya Labai Baharuddin
menyampaikan ceramah agama dengan sangat baik dan mengagumkan para hadirin, sehingga
setelah acara tabligh akbar tersebut, ayahnya menyampaikan cita-cita dan
harapannya agar dia yang ketika itu masih duduk di bangku SD, suatu saat dapat
mengikuti jejak Buya Labai Baharuddin untuk bersekolah ke Al-Azhar Mesir.
Harapannya itu didukungnya melalui usaha beliau untuk selalu mendidiknya dalam
bidang agama dan mengajaknya hadir pada kegiatan-kegiatan yang kondusif untuk
mengisi dan menambah pengetahuan dan pemahamannya tentang ajaran Islam. Akan
tetapi, pada saat dia mengakhiri pendidikan di kelas 6 SD, sebelum memasuki jenjang
pendidikan sekolah lanjutan pertama, ayahnya telah dipanggil oleh Allah ke
hadirat-Nya, tepatnya pada subuh Jumat akhir tahun 1970, tahun di mana dia
menamatkan pendidikan sekolah dasar.
Ibundanya, Aminah, melanjutkan usaha
dan cita-cita almarhum ayahnya dengan mengikutsertakannya dalam ujian masuk
PGAN di Payakumbuh yang akhirnya dia dinyatakan lulus dan diterima bersekolah
di PGAN Payakumbuh pada Januari 1971. Ibunda sewaktu mudanya adalah seorang
yang juga aktif dalam kegiatan Aisyiah di desa Parit Lintang. Konon kabarnya
ranting Aisyiah di desa Parit Lintang itu dianggap sebagai ranting pertama
Aisyiah di Bukittinggi.
Dari pihak Ibundanya, dia terlahir
sebagai anak tunggal, namun dari Ayahnya, dia memiliki tiga orang saudara yang
ketiganya adalah laki-laki, yaitu Nasrul dan Nasril, keduanya kembar kelahiran
1951, dan Harun kelahiran 1955. Ketiga saudara (abang) nya itu profesinya adalah
pedagang di Medan. Ketiganya berkontribusi dalam membiayai pendidikannya di
Medan, mulai dari biaya pendidikannya di PGA UISU Medan dan Madrasah Aliyah
Al-Ulum Medan. Beberapa tahun terakhir ini, ketiga abangnya pindah domisili ke
Pekanbaru, dan abangda Nasril meninggal dunia pada tahun 2007 yang lalu setelah
mengalami sakit diabetes (sakit gula) yang relatif cukup lama.
Menuai
Berkah dari Pendidikan
Pendidikannya dimulai pada saat usia
5 tahun dengan memasuki TK Muhammadiyah yang terletak di dekat rumahnya di
Bunian, Payakumbuh. Hanya satu tahun dia bersekolah di TK tersebut, setelah itu
dia tidak mau lagi melanjutkannya, tetapi sebagai gantinya ayahnya memasukkan dia
ke sekolah mengaji (semacam TQA/TPA) di surau Al-Muhajirin, di dekat Mesjid
Taqwa Banuhampu, Payakumbuh. Di sana dia belajar mengaji Al-Quran mulai dari
alif,ba, ta sampai khatam Al-Quran.
Dia memulai pendidikan dasar di SD
Muhammadiyah Payakumbuh pada 1966 pasca G 30 S PKI. Dia hanya menempuh selama 5
tahun di SD tersebut, karena sewaktu naik ke kelas 5 SD, setelah mengikuti
pelajaran selama satu bulan, Kepala SD waktu itu, Bapak Loai Sutan Makmur, yang
mengajar ilmu berhitung dan ilmu bumi menyarankan kepada kedua orangtuanya
untuk langsung saja naik ke kelas 6 SD. Akhirnya kedua orangtuanya merestui
untuk menerima saran Kepala SD untuk naik ke kelas 6 SD.
Setelah menamatkan SD pada 1970, dia
melanjutkan pendidikan ke PGAN Payakumbuh pada awal tahun 1971. Satu tahun di
PGAN Payakumbuh, dia pindah sekolah ke Medan mengikuti Ibundanya yang menikah
untuk kedua kalinya dengan Bapak Zainuddin St. Rang Kayo Basa, yang berprofesi sebagai
tukang jahit di Medan. Di Medan dia melanjutkan studi di PGA Al-Wasliyah UISU, masuk
di kelas 2 pada tahun 1972. Dia tamat dari PGA 6 tahun UISU pada tahun 1976.
Pendidikannya berlanjut di Fakultas
Syariah IAIN SU, tahun 1977. Seiring dengan itu, pada tahun yang sama, yaitu 1977,
dia masuk di Madrasah Aliyah Al-Ulum Jl. Amaliun Medan, atas dorongan Al-Ustaz
Djamaluddin Ahmad (alm.), setelah dia mengikuti kursus Bahasa Arab dengan
beliau selama beberapa bulan di Mesjid Mu’alimin Jl. SM. Raja G. Keluarga
Medan.
Di Madrasah Aliyah Al-Ulum ini dia
mendapatkan kesempatan untuk menambah dan memperdalam ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Balaghah,
Muthala’ah, Muhadatsah, Muhadharah, Insya’, dan lainnya. Di sampng itu, dia
juga memperoleh peningkatan dan pendalaman ilmu-ilmu Agama, seperti Ilmu Fikih,
Usul Fikih, Mushthalah al-Hadits, Ilmu Tafsir, dan Tafsir Al-Qur’an, Tarikh
Islam, Akhlak Tasawuf dan lainnya yang keseluruhannya menggunakan literatur
berbahasa Arab. Peningkatan pengetahuan dan pemahamannya tentang bahasa Arab
dan mengakses sumber-sumber/buku rujukan berbahasa Arab di Aliyah Al-Ulum ini
langsung dibimbing oleh guru-guru yang menguasai bahasa Arab dan sebahagian
besar berpengalaman dan mengenyam pendidikan di Timur Tengah, seperti dari
Mesir (Al-Ustaz H. Abdullah Syah, MA, Al-Ustaz H. Mahmud Aziz Siregar, MA,
Al-Ustaz Hasan Salim al-Habsyi, Al-Ustaz H. Ahmad Asy’ari, MA), dari Baghdad
(Al-Ustaz H. Abdul Khalik Masidin, MA), dari Libya (Al-Ustaz H. Jalaluddin
Abdul Muthalib, MA), dan dari Mekah, Saudi Arabia (A-Ustaz H. Hamdan Abbas,
Al-Ustaz Drs. H. Abdul Hadi), dan guru-guru yang lulusan dalam negeri,seperti
Al-Ustaz Djamaluddin Ahmad, Ustaz Drs. Said Lukman Al-Hinduan, Al-Ustaz Drs. H.
M. Shaleh Harahap.
Para guru yang mengajarkannya di
Madrasah Aliyah Al-Ulum tersebut sebahagian besar adalah juga dosen yang
mengajarinya di Fakultas Syariah IAIN SU
Medan, seperti Al-Ustaz H. Abdullah Syah, MA, Al-Ustaz H. Mahmud Aziz
Siregar, MA, Al-Ustaz Hasan Salim al-Habsyi, Al-Ustaz H. Abdul Khalik Masidin,
MA, Al-Ustaz H. Hamdan Abbas, Al-Ustaz Drs. H. Abdul Hadi, dan Al-Ustaz Drs.
H.M. Shaleh Harahap.
Pada tahun 1978, ketika dia duduk di
kelas IV Aliyah Madrasah Al-Ulum, dia diusulkan oleh Direktur Madrasah Aliyah,
Al-Ustaz Jamaluddin Ahmad, untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah, yaitu di
Universitas Imam Ibn Sa’ud, Riyadh, Saudi Arabia. Ustaz Jamaluddin Ahmad ketika
itu selain sebagai Direktur Aliyah, juga menjabat sebagai Ketua Perwakilan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) untuk wilayah Sumatera Utara, sekaligus
juga sebagai Perwakilan Rabithah Alam Islamiy untuk wilayah Sumatera Utara dan
Aceh, sehingga posisi beliau memungkinkannya untuk mengusulkan beberapa murid
Aliyah Al-Ulum yang memenuhi syarat untuk belajar ke Saudi Arabia melalui
rekomendasi bapak Dr. H. Mohammad Natsir, Ketua Umum DDII Indonesia pada waktu
itu dan juga sebagai Wakil Ketua Rabithah Alam Islamiy dunia. Dua orang siswa
Aliyah Madrasah Al-Ulum, senior/kakak kelasnya, telah lebih dahulu
diberangkatkan ke Riyadh pada tahun 1977, yaitu H.Amrizal Arief, Lc, saat ini
bertugas di kota Malang sebagai da’i dari Darul Ifta’ sekembalinya beliau dari
Riyadh, Saudi Arabia, setelah meraih gelar Lc di Universitas Imam Ibn Sa’ud,
dan yang kedua adalah H. Syafruddin Ahmad, Lc, (alm.) yang sekembalinya dari
Riyadh mengabdi di Madrasah Al-Ulum, di DDII Perwakilan Sumatera Utara, dan terakhir,
sebelum beliau meninggal dunia, pernah menjadi Ketua Umum Yayasan Mesjid Raya
Pusat Pasar Medan, yang Yayasan tersebut juga mengelola Rumah Sakit Al-Ummah
yang terletak di Jl. Utama simpang Jl. Islamiyah Medan.
Usulan untuk keberangkatannya dan dua
orang temannya yang lain dari Aliyah Al-Ulum untuk melanjutkan studi ke Riyadh,
Saudi Arabia telah diproses pada tahun 1978, yang direncanakan berangkat pada
tahun 1979. Namun, pada tahun 1979 itu, Bapak Dr. H. Mohd. Natsir ikut serta
menandatangani Surat Petisi 50 yang di antara isinya adalah menyampaikan
ketidakpuasan terhadap kebijakan politik pemerintah Orde Baru pada saat itu. Konsekuensinya
dari lahirnya Perisi 50 itu adalah bahwa bapak Dr.H. Mohd. Natsir dicekal
bepergian ke luar negeri dan sekaligus seluruh rekomendasi beliau kepada
sejumlah siswa yang akan belajar ke Saudi Arabia dibatalkan dan tidak bisa
direalisasikan. Di antara rekomendasi yang dibatalkan itu termasuk di dalamnya
rekomendasi keberangkatan tiga orang siswa Madrasah Aliyah Al-Ulum, Jln Amaliun
Medan, yang salah satu di antaranya adalah dia.
Alm. Bapak Drs. H. M. Shaleh Hrahap,
yang ketika itu selain sebagai salah seorang guru dari Aliyah Al-Ulum, tahun
1979, beliau menjabat sebagai Dekan Fakulltas Syariah IAIN SU Medan, memberikan
dorongan dan motivasi kepadanya untuk menyelesaikan studinya di Fakultas
Syariah IAIN SU, yang ketika itu dia sudah di tingkat III. Mudah-mudahan, kata
beliau, suatu saat dia bisa melanjutkan studi ke luar negeri kelak.
Dia meraih gelar Sarjana Muda (BA)
tahun 1980, dengan mempertahankan Risalah Sarjana Muda dengan judul “Pandangan
Islam Terhadap Trias Politika dan Kaitannya Dengan Sistem Pemerintahan
Indonesia.” Kemudian dia melanjutkan studi ke tingkat doctoral Fakulltas
Syariah IAIN SU Medan Jurusan Qadha (Peradilan Agama).
Pada
bulan Juli tahun 1992, setelah bertugas selama 7 tahun sebagai PNS di Fakultas
Syariah IAIN SU (TMT 1 Maret 1985), dia
mencoba mendaftarkan diri sebagai calon untuk mendapatkan beasiswa ke McGill
University di Montreal Canada, dan dia lulus dalam seleksi, dan selanjutnya
berangkat ke Bali untuk mengikuti kegiatan English Language Training (ELT) dan
English for Academic Purposes (EAP) di IALF (Indonesia Autralia Language
Foundation), Denpasar, Bali, sebagai persiapan untuk memperoleh beasiswa studi
ke Program S2 di McGill University, Montreal Canada tersebut. Kegiatan tersebut
berlangsung selama 10 bulan, dan di akhir program melalui seleksi bahasa dan
seleksi kesiapan studi di McGill, 13 orang dari 22 peserta se-Indonesia yang
ikut program ELT dan EAP, dinyatakan lulus untuk mengikuti program S2 (MA) di
McGill University. Dia termasuk salah seorang di antaranya.
Pada
tanggal 5 Juli 1993, dia berangkat ke Montreal untuk mengikuti program S2 di
Institute of Islamic Studies (IIS) McGill University. Pengalaman ke Montreal
Canada ini merupakan pengalaman yang tidak pernah dia bayangkan sejak dia masih
kecil sampai dia memasuki dunia perguruan tinggi di Fakultas Syariah IAIN SU
Medan. Justru yang pernah dia impikan adalah belajar ke Timur Tengah seperti
Mesir dan Mekah atau Madinah. Impian ke Mesir sudah pernah dibayangkan oleh
ayahnya kepada dia sejak masih duduk di bangku SD, yaitu ketika Buya H. Labai
Baharuddin, MA, alumni Universitas Al-Azhar Mesir, datang memberi ceramah dalam
kegiatan Tabligh Akbar di kota Payakumbuh. Keinginan untuk belajar ke Timur
Tengah semakin mendakati kenyataan ketika dia diusulkan dan telah diproses untuk
memperoleh beasiswa melanjutkan S1 ke Unversitas Imam Ibn Sa’ud Riadh Saudi
Arabia dari Madrasah Aliyah Al-Ulum pada tahun 1978, namun rencana tersebut
tidak terlaksana.
Di
Montreal Canada Juli 1993, itu adalah musim panas. Salah satu tradisi di Montreal pada musim panas adalah
diadakannya festifal jazz
Internasional dengan menghadirkan para pemusik jazz dari berbagai Negara dan
benua, seperti dari Negara-negara Afrika, Australia, Eropa, Asia dan Amerika
sendiri. Hampir di seluruh jalan-jalan besar dan tampat-tempat hiburan dipusat
kota Montreal tampil musik-musik jazz yang mewakili berbagai Negara dari
benua-benua yang lima itu. Menyaksikan festifal jazz adalah kegiatan pertama yang
dia nikmati sesampai di Montreal.
Kegiatan
utama yang dia ikuti sesampainya di Montreal adalah orientasi studi yang
dilaksanakan oleh McGill Indonesia IAIN Development Project untuk mahasiswa
Indonesia yang belajar pada Institute of Islamic Studies (IIS). Kegiatan
orientasi tersebut berlangsung selama bulan Juli dan Agustus 1993. Selain
pengenalan terhadap kampus McGill University dengan berbagai fakulltas dan pusat
studi yang ada padanya, dia juga diperkenalkan kepada kota Montreal dengan
berbagai fasilitas yang ada padanya untuk mendukung kehidupan selama studi di
kota yang berpenduduk mayoritas etnis Perancis dan Inggris itu, seperti
transportasi yang terdiri atas bis, taksi, dan metro (subway), serta via (kereta api), pusat perbelanjaan, perbankan yang
akan digunakan untuk transfer beasiswa setiap bulannya, rumah sakit dan
asuransi kesehatannya, dan lainnya. Untuk tempat tinggal, sejumlah apartemen
dengan cara dan prosedur menempatinya diperkenalkan kepadanya oleh tutor yang
memandu, yang terdiri atas dua orang, yaitu Sandra Thubediou dan Jefry Blake.
Termasuk yang dibimbingkan mereka kepadanya adalah bagaimana memelihara dan
merawat apartemen, mulai dari membersihkan kamar mandi, wc, dapur, kamar dan
ruang tamunya. Keseluruhannya menunjukkan bagaimana perhatian dan komitmen
mereka terhadap kebersihan keteraturan dan kerapian tempat tinggal dan
lingkungan, yang hal tersebut sebenarnya adalah bahagian dari ajaran agama
Islam. Justru Negara maju seperti Amerika dan Eropa yang mengamalkan ajaran
tentang kebersihan yang ada pada agama Islam. Dia teringat pada pengalaman
Syekh Muhammad Abduh yang pernah merantau ke Eropa, dan di sana beliau melihat
bagaimana penduduknya yang nonmuslim, namun mengamalkan ajaran Islam tentang
kebersihan, penghargaan terhadap waktu, disiplin dan keteraturan serta kerja
keras dalam kehidupan. Sekembalinya ke Mesir, Abduh menyampaikan sebuah
pernyataan yang membuat para ulama Azhar merasa tersinggung, dimana beliau
mengatakan “Dia lihat Islam ada di Eropa
meskipun di sana tidak ada umat Islam, tetapi dia tidak melihat Islam di Mesir
walaupun di sini banyak umat Islam.” Tentu yang dimaksudkan Abduh di sini
adalah perilaku dan sikap hidup seperti yang ditampilkan oleh masyarakat maju
sekarang ini, yang ada pada dasarnya adalah ajaran yang dibawa oleh Islam
seperti memelihara kebersihan serta kerja keras dalam kehidupan, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas.
Belajar
di IIS McGill University, telah membuka wawasannya dalam bidang ilmu keislaman
dan memberikan kepadanya sejumlah pengalaman belajar tentang Islam melalui para
profesor yang sangat menguasai dan memiliki ilmu yang luas tentang bidang yang
diajarkannya. Mayor studinya adalah hukum Islam, khususnya usul fikih atau Islamic legal theory (teori hukum
Islam). Oleh karenanya dia mengikuti perkuliahan sebanyak 3 semester dengan
Prof. Hallaq, professor hukum Islam, yaitu Advanced
Studies In Islamic Law (winter term),
Special Topics on Ottoman Judiciary (summer term), dan Islamic Legal Discourse (fall term). Selanjutnya dia menulis tesis
dengan bimbingan beliau yang berjudul “Ibn Qayyim’s Reformulation of the
Fatwa,” yang dapat dia selesaikan penulisannya pada bulan Maret 1995 (final submission), dan Alhamdulillah,
pada spring, 1 Mei 1995, dia telah
memperoleh nilainya dari Dr. Susan Spectorsky, seorang ahli mazhab Hanbali dari
New York University dengan nilai very
good, dan pada additional comments-nya
dia mengatakan: “This is very good M.A.
thesis. Chapter two is particulary well organized and presented. …, However.
Overall, this is a solid piece of work.”
Selain
mendalami bidang hukum Islam, selama di McGill dia juga mendapat kesempatan
untuk mendalami bidang-bidang ilmu keislaman lainnya, seperti bidang Alquran
dengan Prof. Issa Josoef Boullata melalui mata kuliah The Qur’an and Arabic Stylistic, yang menekankan diskusi pada
kemukjizatan Alquran (the miracle of the
Qur’an) ditinjau dari segi uslub bahasanya; bidang sejarah dengan Prof.
Donald P. Little, melalui mata kuliah Arabic
Historiography: Classical period; bidang Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat
dengan dua orang profesor melalui dua mata kuliah yang masing-masing
berlangsung dua semester: fall term dan
winter term, yaitu Prof.Michael E.
Marmura dari Toronto University dengan mata kuliah Philosophical Tradition in Islam, dan Prof. Maan Ziade dengan mata
kuliah Survey of the Development of
Islamic Thought.
Di
IIS McGill Unversity mahasiswa diberi kesempatan untuk menjadi mustami’ (auditing) pada mata kuliah
yang diminatinya sebagai tambahan dari mata kuliah wajib untuk menyelesaikan
beban SKS (credits) bagi program
master (MA), dan dia memilih untuk menjadi mustami’
dalam mata kuliah Major Themes of
Islamic Expression yang diasuh oleh Prof. Charles J. Adams. Mata kuliah ini
bersifat lecture yang dapat diikuti oleh mahasiswa program S1 (under graduate) dan S2 (graduate) yang berlangsung dua
semester: fall dan winter dengan jumlah pertemuan 3 (tiga)
kali dalam seminggu. Mata kuliah ini ternyata membahas berbagai aspek dari
bidang ilmu keislaman, mulai dari Al-Quran, Hadis, sejarah Islam, ilmu Kalam,
tasawuf, fikih, filsafat dan lainnya, sebagaimana yang termuat di dalam buku
karya Prof. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Prof. Adams menyampaikannya dengan jelas
dan lugas tanpa menggunakan text-book (luar kepala), terkesan dia sangat menguasai
keseluruhan topik yang dibahasnya. Dia menduga bahwa Prof. Harun Nasution boleh
jadi terinspirasi dari mata kuliah yang diasuh oleh Prof. Adams ini dalam
menulis bukunya, Islam Ditinjau dari
berbagai Aspeknya, karena isinya mencerminkan keseluruhan materi kuliah Major Themes of Islamic Expression tersebut.
Hal tersebut dapat terjadi karena Prof. Harun Nasution adalah alumni IIS McGill
University dan Prof. Adams adalah dosen dan sekaligus pembimbing disertai Prof
Harun Nasution ketika beliau meraih gelar doctor (ph.D) di IIS McGill
University. Setelah dikonfirmasi kepada Prof. Harun melalui berbagai tulisan
dan pernyataan beliau maka dugaan di atas ternyata benar, karena Prof. Harun
Nasution di dalam biografinya menyatakan bahwa “di situlah (maksudnya di
McGill) dia baru mengerti Islam ditinjau dari berbagai aspeknya.”
Selain
menekuni studi McGill University Montreal, dia juga memperoleh kesempatan untuk
melakukan kunjungan ke berbgai kota di Canada dan Amerika Serikat. Pada bulan
Ramadhan di sekitar bulan Februari tahun 1994, saat itu musim winter, dia
diundang untuk mengisi kegiatan peringatan Nuzulul Quran di Konsul Jenderal RI
di Toronto.
Sekembalinya
dari McGill University, Montreal Canada, di bulan Juli 1995, dia mengikuti
testing program doktor (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah (Sekarang sudah menjadi
UIN), Jakarta. Alhamdulillah dia lulus dan diterima di Program S3 Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini dia dapat menimba ilmu langsung dari
sejumlah ilmuan dan tokoh pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, seperti Prof.
Harun Nasution dalam bidang teologi, tasawuf, filsafat dan sejarah Islam, Prof.
M. Quraish Shihab dalam bidang Tafsir Alquran, Dr. Satria Effendi M. Zein dalam
usul fikih Prof. H.M. Atho Mudzhar, Prof. Said Agil al-Munawwar, dan Prof.
Huzaimah T. Yatanggo. Program Doktor ini dapat dia selesaikan di bulan Oktober
1999, dengan mempertahankan disertasi dalam bidang usul fikih, yang berjudul
“Konsep Maslahah Dalam Pemikiran Usul Fikih Imam Al-Haramain al-Juwayni
sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Burhan
fi Ushul al-Fiqh” dalam sidang Promosi Doktor yang dipimpin oleh Rektor
IAIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra dan sekretaris Prof. Said
Agil Al-Munawwar (Direktur Pascasarjana), dengan tim penguji: Dr. H. Satria
Effendi M. Zein, Prof. Dr. Mulyanto Sumardi, MA, Phd, dan Prof. Hj. Huzaimah T.
Yatnggo, Dr. Fathurrahman Djamil dan Dr. H. Muslim Nasution, masing-masing
sebagai penguji.
Pernikahan Terindah
Di akhir masa kuliahnya pada tahun
1982 dia mendengar pembicaraan sejumlah teman-temanku di HMI pasca
perpeloncoan/ POSMA tentang seorang mahasiswi baru Fakultas Syariah marga
Pasaribu. Pada saat itu dia menjabat sebagai Ketua I Senat Mahasiswa Fakultas
Syariah yang seharusnya ikut serta sebagai instruktur pada kegiatan Pelonco/
POSMA Mahasiswa baru, namun karena dia mengiktui LKM Senat Mahasiswa Tingkat
Lanjutan IAIN Imam Bonjol Padang, dan sebelumnya dia juga harus mengikuti
penataran P4 mewakili senat mahasiswa di BP7 Sumut, maka dia tidak ikut
terlibat dalam kegiatan perpeloncoan tersebut sehingga dia tidak mengenal
siapa-siapa dari mahasisa baru, termasuk yang dibicarakan oleh teman-teman
tersebut. Meskipun agak terlambat, akhirnya dia bisa juga mengetahui dan
mengenal sang mahasiswi tersebut yang namanya kemudian dia ketahui yaitu Ida
Hayati. Mungkin sudah diatur Yang Maha Kuasa, maka sejak itu dia sering
memperhatikan gadis itu, sehingga akhirnya pada awal tahun 1986, tepatnya
tanggal 23 Februari 1986, dia menikahi gadis yang bernama Ida Hayati tersebut.
Pernikahan berlangsung di Perkebunan Padang Halaban Rantau Prapat, tempat kedua
orang tua Ida Hayati berdomisli. Pada acara pernikahannya tersebut turut serta
mengantarnya dari Medan dan sekaligus menjadi saksi dalam pernikahannya
tersebut dua orang seniornya di Fakultas Syariah yaitu Uda Amiur (Prof. Dr.
Amiur Nuruddin, MA) dan Bang Fadhil
(Prof. Dr. N.A Fadhil Lubis, MA.) Beliau berdua ikut bermalam (menginap)
di Padang Halaban, beserta sejumlah juniornya di Fakultas Syariah, seperti
Armia Yusuf, M. syakir dan lainnya.
Sampai sekarang, istrinya, Dra. Ida
Hayati, saat ini guru SMP Perg. Al-Ulum Jl. Amaliun Medan, telah membina rumah
tangga bersama dia sekitar 27 tahun dengan berbagai macam suka dan dukanya, dan
saat ini mereka telah danugerahi Allah dua orang anak, yaitu Alfi Amalia (saat ini S2 Prodi Ekonomi Islam
Pascasarjana IAIN US) dan Isna Rizkia (saat ini XII-IPA-1 MAN-1 Medan).
Strategi
Jitu Membangun IAIN SU
Sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN SU, dia sudah merancang
strategi untuk mengedepankan pascasarjana IAIN SU. Strateginya adalah
meningkatkan kualitas dan kuantitas mahasiswa. Cara yang ditempuh olehnya yakni
membangun komunikasi dengan badan-badan dan lembaga-lembaga untuk memberikan
bantuan bagi mahasiswa pascasarjana.
Pada
2010 lalu, mulai digalakkan beasiswa untuk guru-guru madrasah dari Pemprovsu
untuk 3 kelas: Fiqih, Aqidah Akhlak dan Guru Agama. Sementara untuk perguruan
tinggi, IAIN SU diberikan kesempatan untuk mengelolah lima prodi beasiswa
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Dirjen Agama di Jakarta.
Peningkatan kualitas dan kuantitas IAIN SU,
menurutnya perlu disesuaikan dengan berbagai pelayanan, dari segi kebersihan,
kerapian dan disiplin. Untuk menunjang hal ini, dia membenahi dari tingkat
direktur sampai tingkat staf. Pembenahan di semua lini ini guna mewujudkan IAIN
SU khususnya program pascasarjana menjadi Center of Excellent di bidang studi
Islam. Di bawah kepemimpinannya program pascasarjana telah diberi kepercayaan
mengurus enam prodi S2 (PEMI, HUKI, PEDI, EKNI, KOMI dan TH). Keseluruhannya
terakreditasi B. Dan lima prodi S3 program doctor (HUKI, AFI, PEDI, KOMI, dan
EKNI). Empat di antaranya (kecuali EKNI) telah terakreditasi.
Barakallah Prof. Nawir, Dosen AIK UMSU :')
BalasHapus