Jejak Sukses Pecinta Buku (Biografi Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, M.A.)
Oleh
Romi Aswandi Sinaga
Ayahnya, Zakaria Lamy Ahmad Lubis merupakan tauladan baginya.
Beliau ialah seorang kepala sekolah negeri tingkat Sekolah Dasar (dahulu
Sekolah Rakyat). Rutinitas ayah dan ibunya di malam hari yaitu mengajar mengaji
anak-anak pedesaan. Selepas maghrib, rumahnya yang berbentuk panggung biasanya
dipenuhi anak-anak desa yang mengaji. Menambah riuh kehangatan kekeluargaan di
rumahnya.
Ayahnya mendidiknya dan saudara-saudaranya untuk bersikap mandiri. Sejak
kecil dia sudah diberikan tugas masing-masing. Terkadang dia mendapat jatah
mengangkat air, esoknya menyapu halaman. Hal ini yang diterapkan ayahnya untuk
membiasakan sikap disiplin kepada anak-anaknya.
Dahulu ayahnya belajar di pendidikan Belanda. Beliau bisa bahasa
Belanda, juga bisa menulis Arab. Setiap malam minggu, mulai dari anak-anak,
pemuda-pemudi kampung sampai ibu-ibu berkumpul di rumahnya untuk mendengarkan
ayahnya bercerita. Ceritanya beragam, terkadang kisah-kisah nabi dan sahabat,
terkadang kisah bangsa-bangsa lain. Di setiap cerita beliau selalu menyelipkan
moral dan nilai agama. Ayahnya seorang pencerita andal.
Belajar Ganda
Sebelum masuk SD, Fadhil kecil punya tanggung jawab menggembala
kambing biri-biri. Jumlahnya sekitar 20 ekor. Setiap matahari meninggi,
kambing-kambing itu digiring ke perkebunan lalu setiap sore digiring ke rumah
kembali. Ternak kambing itu juga membantu keuangan keluarga besarnya. Tidak
hanya beternak kambing, keluarganya juga beternak ayam. Setiap pagi dia dan
saudara-saudaranya mengumpuli telur dari kandang ayam. Kalau sudah mendekati
hari raya, hasil ternak-ternak itu dijual untuk membeli pakaian atau kebutuhan
lainnya.
Dia belajar membaca Al-Quran di rumah sendiri dengan orang tuanya.
Sejak kecil dia sudah belajar Juz Amma dan belajar membaca buku. Itu yang
membuatnya ketika masuk SD sudah bisa membaca, tidak seperti teman-temannya
yang baru memulai belajar alphabet. Kepintarannya yang jauh dari rata-rata
teman sekelasnya itu membuatnya hampir tiap tahun menyandang predikat juara
kelas. Saat kelas 3 SD dia disuruh orang tuanya masuk madrasah ibtidaiyah sehingga
dia belajar di dua sekolah sekaligus; pagi sekolah dasar, sore sekolah
madrasah. Madrasah di kampungnya disebut maktab,
namanya Sekolah Maktab Al-Wasliyah.
Dari rumahnya ke sekolah maktab berkisar 3 Km, tidak sejauh sekolah
dasarnya yang berdiri di dekat rumahnya. Setiap saat akan bersekolah, dia berjalan
kaki dengan teman-temannya beramai-ramai dengan menenteng sarung di bahu
masing-masing.
Setamat SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dia melanjutkan kedua sekolah
lagi, di Madrasah Tsanawiyah dan SMP. Untungnya kali ini berdekatan tepatnya di
Pekan Petumbukan sekitar 3 Km dari rumahnya. Setelah pulang dari SMP, dia
melanjut bersekolah di Tsanawiyah. Tidak jarang dia terus membawa bekal dari
ibunya yang lauknya selalu itu-itu saja, sambal teri dan terong. Ini kenangan
indah yang tidak bisa dilupakannya.
Begitu pun saat melanjut ke jenjang berikutnya, dia juga sekolah di
dua tempat; SMA dan Madrasah Aliyah. Namun, ketika Aliyah kelas dua dia
ditawarkan ikut ujian akhir karena kemampuannya yang memadai. Dan dia
dinyatakan lulus. Sehingga dia tidak pernah menamatkan jenjang SMA.
Gemar Membaca
Sejak Kecil
Hobinya sewaktu kecil adalah
menonton dan membaca. Di desannya yang dikelilingi perkebunan seminggu sekali
diadakan malam pertunjukkan layar tancap. Biasanya layar tancap diadakan di
tengah lapangan. Dia rela menempuh jarak karena kegemarannya tersebut, tiga
sampai empat kilometer dari rumah naik sepeda, sesekali berjalan kaki. Di
samping itu, di di Pekan Petumbukan terdapat PHR (Panggung Hiburan Rakyat),
Tiketnya murah meriah.
Film kesukaannya didominasi dengan film-film Indonesia dan
film-film India. Beberapa kali dia juga menonton film-film action Hollywood, film kesukaannya adalah James Bond. Ketika dia
SMP, James Bond memang sedang booming.
Hobinya yang kedua yaitu membaca. Karena orang tuanya berprofesi guru
sehingga mempunyai banyak koleksi bacaan, jadi hampir seluruh koleksi buku
orang tuanya itu sudah dia baca. Tidak hanya membaca buku dari koleksi orang
tuanya, dia juga sering berburu buku di Pekan. Biasanya jenis buku yang dia
sewa adalah komik.
Sewaktu SMP dan SMA dia banyak membaca buku-buku terjemahan. Buku
favoritnya berjudul Round the World in
Seven Days (Keliling Dunia Dalam Tujuh Hari). Karena kegemarannya itu, dia
sering menyisihkan uang jajannya untuk menyewa buku.
Terinspirasi dengan sosok ayahnya, sejak kecil dia bercita-cita
ingin menjadi guru. Sebagai anak dia menganggap ayahnya adalah sosok guru yang
ideal, dihormati oleh orang sekampung. Saking hormatnya masyarakat kampung,
setiap menjelang Ramadan, rumah mereka penuh dengan nasi beserta lauk pauk
punggahan. Dan hal itu yang membuatnya mengidamkan profesi guru.
Mengadu Masa
Depan di Medan
Canggung. Itulah yang dirasakan Nur Ahmad Fadhil Lubis saat
menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota Medan. Kehidupan pedesaan yang sederhana
kontras dengan kota Medan saat itu baginya. Dia mengadu peruntungan bersekolah
di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dia tinggal bersama sanak
keluarganya, yang jauh berbeda dengan suasana di rumah panggungnya itu. Tidak
ada lagi suasana Maghrib yang hangat. Tidak ada lagi sosok orang tua yang luar
biasa di sampingnya.
Fakultas Syariah IAIN SU menjadi pilihannya. saat menjadi mahasiswa
dia kerap mengalami ketertinggalan dengan mahasiswa yang memang berdomisili di
kota Medan, terlebih-lebih soal gaya dan teknologi. Namun saat dia belajar di
kelas ternyata banyak pelajaran yang sudah dia kuasai, terutama pelajaran
agama.
Pada tahun pertama, dia tidak berani ikut organisasi apa pun. Dia
malah memilih bekerja untuk tambahan biaya hidup di perantauan. Alasannya,
selain ingin mandiri, karena ayahnya sudah pensiun. Profesi pertamanya adalah pekerja
kasar di Kebun Binatang Kampung Baru. Dia masuk kerja setelah Subuh.
Pekerjaannya, membersihkan kandang-kandang binatang.
Ada cerita yang menarik tentang kebun binatang. Ketika dia pulang
dari Amerika tahun 1994, istri dan anaknya yang masih kecil-kecil dia bawa
untuk refreshing ke kebun binatang. Baru meninjakkan kaki di pintu masuk,
karyawan-karyawan sudah menegurnya, ternyata dia masih diingat. Akhirnya dia
dan keluarganya masuk tanpa dikutip biaya karcis. “Masuk-masuk pak tidak usah
pakai karcis,” kata seorang perobek tiket masuk. Lalu anaknya bertanya, “Kenapa
kita masuk tidak pakai karcis, terus ayah kok dikenal semua orang?” Dia jawab
dengan senyum sumringah, “Saat kuliah, ayah kerjanya di sini. Yang kenal sama
ayah bukan hanya orang-orangnya tapi juga binatang-binatangnya.” Si sulung
tidak percaya, “Ah, gak mungkin.” Karena yang anaknya bayangkan ayahnya tamatan
Universitas di Amerika, kok kerjanya seperti itu. Dia hanya bisa tersenyum
melihat respon anaknya.
Pada tahun ketiga barulah dia mulai mengikuti organisasi. Mula-mula
dia menjadi anggota organisasi kedaerahan, namun kemudian dia menjadi anggota
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Alasan kenapa dia mengikuti HMI adalah karena
orang tuanya salah seorang pengurus partai Masyumi yang masih bersaudara dengan
HMI.
Skill yang paling ditekuninya saat berstatus mahasiswa yakni ilmu
kebahasaan. Awalnya dia ingin belajar bahasa lewat kursus tetapi tidak punya
duit. Untuk mensiasatinya, sepulang kerja dia bergegas ke Lembaga Indonesia
Amerika (LIA) di depan Mesjid Agung. Dia mendaftar sebagai anggota karena
setiap anggota memiliki kewenangan meminjam dua buku sekali pinjam. Dan tidak
hanya itu, dia juga pernah menjadi anggota British Council dan Perpustakaan
Daerah.
Membaca Buku,
Kunci Kesuksesan
Saking cintanya membaca buku, kemana-mana dia tak lupa membawa buku
sampai sekarang. Di kediamannya, terdapat perpustakaan mini berukuran 6x6 m di
lantai dua yang berisi rak-rak dipenuhi buku. Sekarang sudah tidak muat
sehingga dibuat kembali di lantai satu.
Saat asyik-asyiknya membaca buku di Lembaga Indonesia Amerika (LIA),
dia berbincang-bincang dengan seorang yang juga membaca buku di sana. Ternyata
dia bekerja di travel agent.
Bincang-bincang itu pun berlanjut dalam bahasa Inggris. Orang tersebut lalu berkata,
“Kamu bahasa Inggrisnya sudah bagus, kenapa tidak bekerja jadi penerjemah?”
Kemudian dijawabnya, “Bukannya sulit jadi penerjemah?” Orang tersebut
menimpali, “Tidak, bahasa Inggris saya yang pas-pasan saja bisa jadi
penerjemah.” Setelah itu, dia percaya diri untuk melamar menjadi penerjemah.
Hasilnya dia diterima menjadi guide
interpreter.
Beberapa tahun berprofesi menjadi penerjemah, dia sudah
mengelilingi banyak tempat-tempat menarik, dari Bali sampai ke Thailand.
Profesi ini membuatnya cukup mapan karena dinilai dengan hitungan dollar.
Kemudian, dia memutuskan untuk married dengan
gadis desa yang dia kenal ketika orang tua si gadis meminta tolong untuk
dipermudah masuk ke IAIN SU. Hanya butuh satu bulan baginya untuk meneguhkan
hati pada gadis tersebut.
Sosok istri pertamanya itu yang selalu memotivasinya untuk
menyelesaikan studi (BA menjadi Drs). Akhirnya dia memutuskan untuk bersekolah
lagi sambil bekerja serta berumah tangga hingga pada tahun 1982 dia
menyelesaikan sarjana lengkap dengan gelar Drs. Itu juga sudah agak terlambat
wisudanya.
Tawaran pekerjaan sebagai dosen IAIN SU datang setelah diwisuda.
Yang menawarkannya adalah dekan Fakultas Syarah, Pak Shaleh Harahap. Istrinya
juga memang tidak suka dia terus bekerja di travel
agent, karena dia sering melancong, meninggalkan rumah. Sejak itu saya
putuskan untuk menjadi dosen.
Di tengah perjalanan menjadi dosen, dia merasa ilmunya tidak cukup,
ada perasaan tidak puas dirasakannya. Kemudian dia tertarik untuk belajar ke
jenjang yang lebih tinggi lagi. Dia mengikuti ujian ke Timur Tengah dan lulus.
Sesaat keberangkatan, calon mahasiswa harus membeli tiket masing-masing,
sayangnya dia tidak punya dana yang cukup sehingga diurungkannya niat tersebut.
Keinginannya untuk menimbah ilmu keluar negeri tidak sampai disitu
saja. Dia kemudian mengikuti beasiswa Fullbright ke Amerika. Dan akhirnya
perjuangan tersebut berhasil. Tidak seperti beasiswa sebelumnya, Beasiswa
Fullbright membiayai seluruh tanggungan mulai dari Indonesia sampai Amerika
termasuk tiket pulang-pergi.
Pada beasiswa Fullbright, dia memilih tiga tempat yang terbaik di
Amerika: Harvard, Chicago dan University of California. Hanya saja Fullbright
tidak menyetujui beasiswa di Harvard University karena biayanya terlalu mahal.
Sedangkan di Chicago, Fazlur Rahman orang yang merekomendasikannya sekaligus
dosen yang dituju di sana telah meninggal dunia. Beliau berasal dari Pakistan.
Bukunya banyak beredar di Indonesia dan hampir semua bukunya pernah dia baca.
Karena dosen yang dituju itu meninggal, dia tidak tertarik lagi memilih Chicago.
Kemudian dia bergegas ke Los Angeles, California. Dia menetap di sana sejak
1986 sampai 1994 untuk menyelesaikan program S2 di University California Los
Angeles (UCLA). Sekitar 6 bulan dia tidak kuliah lalu dia mendapat beasiswa S3.
Kemudian datang panggilan dari pemerintah, dia harus pulang ke
Indonesia, kalau tidak pulang pegawai negerinya dicopot dan malah katanya harus
ganti rugi, padahal istri dan anaknya sudah dibondong ke negeri Paman Sam itu.
Jadi, di akhir tahun 1994, dia balik ke Indonesia. Akan tetapi dia masih harus
bolak-balik Indonesia-Amerika karena pekerjaan di Amerika urung dia tinggalkan.
Peran Keluarga
Dalam Kesuksesan
Sosok berpengaruh yang paling dominan sejak Fadhil kecil adalah
kedua orang tuanya. Ayahnya lah yang banyak mengajarinya ilmu-ilmu agama dan
umum sejak kecil sedangkan ibunya sangat berperan penting dalam pembentukan
karakternya. Dia biasa memanggil ibunya dengan panggilan omak. Omak-nya tidak bekerja,
hanya ibu rumah tangga walaupun beliau pernah sekolah guru tapi dia tidak
mengajar.
Setelah berkeluarga, istrilah
yang sangat mendukung kariernya. Istrinya itu tamatan Madrasah Diniyah Putri
Padang Panjang. Dia orang Minang, tapi orang Minang yang lahir di Medan. Mertua
perempuannya semarga dengannya, Lubis. Istrinya lah yang mengarahkannya untuk
menjadi dosen.
Banyak kenangan dari istrinya yang pertama itu. Ketika dia pulang
dari Amerika, karena anaknya ketiganya laki-laki, istrinya menginginkan hamil
kembali kalau Allah berkenan bisa memperoleh anak perempuan. Karena istrinya
orang minang, istrinya ingin sekali memiliki penerus berupa anak perempuan. Padahal
umurnya sudah di atas 40 tahun dan istrinya sekitar 39 tahun waktu itu.
Ketika istrinya hamil menjelang 8 bulan terjadi komplikasi berketepatan
malam tahun baru, istrinya jatuh di kamar mandi. Istrinya dibawa ke Rumah Sakit
Putri Hijau, sayangnya karena malam tahun baru tidak ada dokter spesialis
kandungan, hanya ada dokter umum yang tidak begitu paham cara penanganannya. Akibat
lamanya penanganan, akhirnya janinnya meninggal di dalam kandungan. Istrinya
keracunan tapi masih hidup selama 3 minggu setelah kejadian tersebut, lalu
istrinya meninggal.
Tiga tahun berlalu, dia kembali menikah dengan mahasiswinya. Dulu
istri keduanya itu guru les anak-anakya. Anak-anaknya menjadi akrab dengan
istrinya tersebut. Dari istri keduanya, dia mendapat seorang anak laki-laki
lagi.
Berusaha Lalu
Menuai Hasil
Dulu dia pernah bercita-cita keliling dunia, terinspirasi dari
banyak buku petualangan yang dibacanya. Akhirnya impiannya itu tercapai. Hampir
semua negara sudah dia jejaki. Ke Afrika sudah, ke Eropa sudah sampai ke ujung
Kanada, Quebec juga sudah pernah.
Anak-anaknya sering meledeknya, “Ayah sering jalan-jalan ke luar
negeri, tapi tidak pernah keliling Indonesia.” Memang hampir semua negara-negara
Eropa dan Amerika yang notabenenya negara-negara maju sudah dia jejaki baik
karena urusan kerja atau sekedar liburan, namun dia kurang mendatangi
negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Jadi anak-anaknya sering
bilang ayahnya terlalu western centrist.
Kebanyakan dia keluar negeri karena urusan kerja. Dia pernah
mengajar di Montreal, Kanada. Dia sempat mengajar di Rochester di Negara bagian
New York. Dia juga yang pernah mengajar di Kanada, di Chulalongkorn di Bangkok,
kemudian yang terakhir dia mengajar di
Ateneo The Davao Filipina.
Setelah lama berkiprah di dunia pendidikan, akhirnya dia dikukuhkan
menjadi guru besar di bidang ilmu filsafat. Dia pun ingin mengajarkan filsafat
dengan terlebih dahulu mematahkan pendapat bahwa filsafat itu ilmu yang aneh,
tidak cocok, terlalu tinggi, sehingga dia ingin mengubah pola pikir rumit
tersebut dengan pemikiran bahwa filsafat itu sesuatu yang kita butuhkan
sehari-hari. Malahan dalam lelucon pun sebenarnya terdapat filsafat. Jadi di
samping dia menulis filsafat yang agak rumit-rumit, dia juga menulis buku-buku
filsafat untuk mahasiswa S1 dengan penjelasan yang mudah dipahami.
Sebenarnya dia lebih sering menulis soal filsafat dalam bahasa
Inggris ketimbang dalam bahasa Indonesia. Dia menganggap setiap tulisannya yang
dibahas dalam forum diskusi agama tentang hak asasi selalu dikritik
habis-habisan. Dengan alasan kenyamanan, tulisan-tulisannya di beberapa harian
lokal maupun nasional, sudah dia poles sedemikian halus berbeda dengan
tulisan-tulisan yang dia publikasikan di jurnal-jurnal Internasional.
Dia pernah diundang ke Jenewa, Swiss karena tulisannya yang menarik
tentang hak asasi anak: The Right of Children
in Islamic Perspective. Dia juga pernah diundang ke suatu pertemuan di New
York karena tulisannya tentang perempuan dan hak-hak perempuan: Bolehkah Perempuan Menjadi Hakim? Malah
ide-ide yang dia kemukakan itu tidak pernah dikemukakan di Indonesia. “Karena
kalau di Indonesia, imbasnya akan langsung dikejar-kejar pihak tertentu dan dicap
liberal,” tandasnya.
Nanti ketika dia tidak menjabat rektor lagi, dia berkeinginan untuk
menulis pemikirannya dengan lebih terbuka agar orang-orang tidak mengait-ngaitkannya
lagi dengan jabatannya sebagai rektor. Kalaupun jadi bahan pembicaraan orang, orang
bukan men-judge IAIN SU-nya, tapi dia
pribadi.
IAIN SU Harus
Maju Ditangannya
Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia termasuk IAIN SU harus
benar-benar menjadi center of excellence.
Dia belajar dari pengalamannya berangkat ke Amerika bersama Din Syamsudin, Qodri
Azizi, Azyumardi Azra, dan lain-lain. Dulu sejak dia dan teman seperjuangannya
tersebut satu periode, mereka sering berdiskusi panjang soal quovadis PTAIN. Ilmu
di IAIN ini mengalami dikotomi, lmu agama dipisahkan dengan ilmu umum, banyak hal
yang harus diselesaikan dari segi filosofisnya. Seharusnya orang Islam itu
dinamis, bisa berpikir maju dan tidak terperangkap dengan pemisah-pemisah.
Dengan label sekolah tinggi atau institut, IAIN SU tidak akan maju.
IAIN SU harus bertransformasi menjadi UIN karena Universitas di Indonesia
memiliki jangkauan yang lebih luas di segala lini. Dampak positifnya, segala
civitas IAIN SU dapat mengubah pola pikir dan cara pandang sehingga lebih
dinamis terhadap tuntutan zaman yang terus dinamis pula. Kalau dibandingkan
ketika dia pulang tahun 1994, IAIN SU sekarang sudah lebih terbuka. Dulu, dia
sempat mengajak orang kulit putih, temannya, untuk memberikan kuliah di
kelasnya, lalu dia dipanggil oleh dekan. “Kenapa itu orang kafir disuruh
mengajar di IAIN,” kata dekannya dulu. America
Corner juga sering dikritik sebagai sarana Amerika mengkafirkan cendekiawan
Islam. Padahal menurutnya, American
Corner dapat dijadikan fasilitas untuk mengenal Amerika lebih dekat, menuai
manfaat dari negara adidaya itu. Belum lagi dia dituduh liberalis, orientalis,
bahkan kapitalis. Dia pernah juga dianggap agen Barat. Mereka bilang dia
berbahaya, telah menjadi antek-antek negara kafir. Padahal dia ingin
menunjukkan bahwa semestinya banyak pelajaran positif yang dapat diambil dari
mereka. Misalnya dari kecanggihan teknologi.
Menurutnya, mengubah cara pandang yang sudah bergenerasi ini tidak
mudah. Jadi, dia melakukannya perlahan-lahan tapi pasti. Salah satu cara yang
efektif adalah dengan menjadi pimpinan baik di tingkat fakultas maupun di
tingkat institut. Misi yang sedang dia laksanakan diantaranya dengan penambahan
program studi dan penambahan dosen-dosen yang berkualitas, yang kemudian dosen
tersebut dikirim untuk memperluas ilmunya dengan studi banding di berbagai
negara. Harapannya, hal ini memberikan peluang dosen-dosen tersebut untuk
menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di sana dan mengimplementasikannya di IAIN SU.
Uang bukanlah penghalang baginya untuk membawa IAIN SU lebih
terkemuka. Seolah tidak mau kehabisan cara, dia menjalin relasi ke Bank
Pembangunan Islam (Islamic Develoment Bank). Keberuntungan menghampiri,
pembiayaan transformasi IAIN SU menjadi UIN mendapat bantuan dari IDB.
Dari seluruh IAIN di Indonesia, IAIN SU termasuk enam IAIN yang mendapat
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tidak semua IAIN dapat itulah yang mau kita
kembangkan. Kegiatan ini mendukung IAIN SU menjadi UIN SU. IAIN SU juga salah
satu dari empat IAIN yang mendapat bantuan dari IDB untuk tahun 2014.
Pengadaan laboratorium bahasa yang dananya tidak mencukupi,
akhirnya dia menjalin relasi dengan negara Saudi Arabia untuk meminta bantuan. Sehingga dibangunlah laboratorium di kampus
II IAIN SU dari kumpulan wakaf duta besar Saudi Arabia melalui Kedubes Saudi Arabia,
mereka yang mencari calon-calon pewakaf hingga terkumpul dana bantuan sebesar 6
Milyar rupiah lebih.
Cita-citanya untuk membangun IAIN SU masih berlanjut.
Terlebih-lebih cita-citanya mengubah IAIN SU menjadi UIN SU. Dia bermimpi kampus
di Tuntungan bisa menjadi kampus asri yang diidam-idamkan. Berdiri di atas
tanah berukura 16 ha, di daerah pegunungan yang belum berpolusi. Prediksinya, lima
tahun lagi daerah di kota Medan akan berpolusi, daerah seperti di Tuntungan
yang diidam-idamkan orang-orang. Kondisi ini sangat strategis untuk mendukung
IAIN SU menjadi UIN SU.
Menurutnya, niat baik saja belum cukup, aksi kerja keras yang
dibutuhkan. Kalau IAIN SU ingin maju, segala pihak harus berbenah, mulai dari
atasan sampai bawahan, dengan meningkatkan kualitas masing-masing. Insya Allah!
*Biografi
ini telah dimuat dalam buku Guru Besar IAIN SU
Komentar
Posting Komentar