Jejak Sukses Pecinta Buku (Biografi Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, M.A.)


Oleh
Romi Aswandi Sinaga

Ayah, Sosok Tauladan 
Nur Ahmad Fadhil Lubis, lahir di Petangguhan 17 November 1954 dari keluarga besar yang kental dengan suasana pendidikan. Dia adalah anak keenam dari sembilan bersaudara. Secara fisiologi keluarga, anak yang berada di tengah, pada umumnya mandiri. Dan kemandirian itu benar terpancar pada sosoknya sejak bocah. Karena dia bukan anak bungsu yang dimanja dan dia bukan anak sulung yang dihormati. 
Ayahnya, Zakaria Lamy Ahmad Lubis merupakan tauladan baginya. Beliau ialah seorang kepala sekolah negeri tingkat Sekolah Dasar (dahulu Sekolah Rakyat). Rutinitas ayah dan ibunya di malam hari yaitu mengajar mengaji anak-anak pedesaan. Selepas maghrib, rumahnya yang berbentuk panggung biasanya dipenuhi anak-anak desa yang mengaji. Menambah riuh kehangatan kekeluargaan di rumahnya.
Ayahnya mendidiknya dan saudara-saudaranya untuk bersikap mandiri. Sejak kecil dia sudah diberikan tugas masing-masing. Terkadang dia mendapat jatah mengangkat air, esoknya menyapu halaman. Hal ini yang diterapkan ayahnya untuk membiasakan sikap disiplin kepada anak-anaknya.
Dahulu ayahnya belajar di pendidikan Belanda. Beliau bisa bahasa Belanda, juga bisa menulis Arab. Setiap malam minggu, mulai dari anak-anak, pemuda-pemudi kampung sampai ibu-ibu berkumpul di rumahnya untuk mendengarkan ayahnya bercerita. Ceritanya beragam, terkadang kisah-kisah nabi dan sahabat, terkadang kisah bangsa-bangsa lain. Di setiap cerita beliau selalu menyelipkan moral dan nilai agama. Ayahnya seorang pencerita andal.

Belajar Ganda
Sebelum masuk SD, Fadhil kecil punya tanggung jawab menggembala kambing biri-biri. Jumlahnya sekitar 20 ekor. Setiap matahari meninggi, kambing-kambing itu digiring ke perkebunan lalu setiap sore digiring ke rumah kembali. Ternak kambing itu juga membantu keuangan keluarga besarnya. Tidak hanya beternak kambing, keluarganya juga beternak ayam. Setiap pagi dia dan saudara-saudaranya mengumpuli telur dari kandang ayam. Kalau sudah mendekati hari raya, hasil ternak-ternak itu dijual untuk membeli pakaian atau kebutuhan lainnya.
Dia belajar membaca Al-Quran di rumah sendiri dengan orang tuanya. Sejak kecil dia sudah belajar Juz Amma dan belajar membaca buku. Itu yang membuatnya ketika masuk SD sudah bisa membaca, tidak seperti teman-temannya yang baru memulai belajar alphabet. Kepintarannya yang jauh dari rata-rata teman sekelasnya itu membuatnya hampir tiap tahun menyandang predikat juara kelas. Saat kelas 3 SD dia disuruh orang tuanya masuk madrasah ibtidaiyah sehingga dia belajar di dua sekolah sekaligus; pagi sekolah dasar, sore sekolah madrasah. Madrasah di kampungnya disebut maktab, namanya Sekolah Maktab Al-Wasliyah.
Dari rumahnya ke sekolah maktab berkisar 3 Km, tidak sejauh sekolah dasarnya yang berdiri di dekat rumahnya. Setiap saat akan bersekolah, dia berjalan kaki dengan teman-temannya beramai-ramai dengan menenteng sarung di bahu masing-masing.
Setamat SD dan Madrasah Ibtidaiyah, dia melanjutkan kedua sekolah lagi, di Madrasah Tsanawiyah dan SMP. Untungnya kali ini berdekatan tepatnya di Pekan Petumbukan sekitar 3 Km dari rumahnya. Setelah pulang dari SMP, dia melanjut bersekolah di Tsanawiyah. Tidak jarang dia terus membawa bekal dari ibunya yang lauknya selalu itu-itu saja, sambal teri dan terong. Ini kenangan indah yang tidak bisa dilupakannya.
Begitu pun saat melanjut ke jenjang berikutnya, dia juga sekolah di dua tempat; SMA dan Madrasah Aliyah. Namun, ketika Aliyah kelas dua dia ditawarkan ikut ujian akhir karena kemampuannya yang memadai. Dan dia dinyatakan lulus. Sehingga dia tidak pernah menamatkan jenjang SMA.

Gemar Membaca Sejak Kecil
 Hobinya sewaktu kecil adalah menonton dan membaca. Di desannya yang dikelilingi perkebunan seminggu sekali diadakan malam pertunjukkan layar tancap. Biasanya layar tancap diadakan di tengah lapangan. Dia rela menempuh jarak karena kegemarannya tersebut, tiga sampai empat kilometer dari rumah naik sepeda, sesekali berjalan kaki. Di samping itu, di di Pekan Petumbukan terdapat PHR (Panggung Hiburan Rakyat), Tiketnya murah meriah.
Film kesukaannya didominasi dengan film-film Indonesia dan film-film India. Beberapa kali dia juga menonton film-film action Hollywood, film kesukaannya adalah James Bond. Ketika dia SMP, James Bond memang sedang booming.
Hobinya yang kedua yaitu membaca. Karena orang tuanya berprofesi guru sehingga mempunyai banyak koleksi bacaan, jadi hampir seluruh koleksi buku orang tuanya itu sudah dia baca. Tidak hanya membaca buku dari koleksi orang tuanya, dia juga sering berburu buku di Pekan. Biasanya jenis buku yang dia sewa adalah komik.
Sewaktu SMP dan SMA dia banyak membaca buku-buku terjemahan. Buku favoritnya berjudul Round the World in Seven Days (Keliling Dunia Dalam Tujuh Hari). Karena kegemarannya itu, dia sering menyisihkan uang jajannya untuk menyewa buku.
Terinspirasi dengan sosok ayahnya, sejak kecil dia bercita-cita ingin menjadi guru. Sebagai anak dia menganggap ayahnya adalah sosok guru yang ideal, dihormati oleh orang sekampung. Saking hormatnya masyarakat kampung, setiap menjelang Ramadan, rumah mereka penuh dengan nasi beserta lauk pauk punggahan. Dan hal itu yang membuatnya mengidamkan profesi guru.

Mengadu Masa Depan di Medan
Canggung. Itulah yang dirasakan Nur Ahmad Fadhil Lubis saat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota Medan. Kehidupan pedesaan yang sederhana kontras dengan kota Medan saat itu baginya. Dia mengadu peruntungan bersekolah di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Dia tinggal bersama sanak keluarganya, yang jauh berbeda dengan suasana di rumah panggungnya itu. Tidak ada lagi suasana Maghrib yang hangat. Tidak ada lagi sosok orang tua yang luar biasa di sampingnya.
Fakultas Syariah IAIN SU menjadi pilihannya. saat menjadi mahasiswa dia kerap mengalami ketertinggalan dengan mahasiswa yang memang berdomisili di kota Medan, terlebih-lebih soal gaya dan teknologi. Namun saat dia belajar di kelas ternyata banyak pelajaran yang sudah dia kuasai, terutama pelajaran agama.  
Pada tahun pertama, dia tidak berani ikut organisasi apa pun. Dia malah memilih bekerja untuk tambahan biaya hidup di perantauan. Alasannya, selain ingin mandiri, karena ayahnya sudah pensiun. Profesi pertamanya adalah pekerja kasar di Kebun Binatang Kampung Baru. Dia masuk kerja setelah Subuh. Pekerjaannya, membersihkan kandang-kandang binatang.
Ada cerita yang menarik tentang kebun binatang. Ketika dia pulang dari Amerika tahun 1994, istri dan anaknya yang masih kecil-kecil dia bawa untuk  refreshing ke kebun binatang. Baru meninjakkan kaki di pintu masuk, karyawan-karyawan sudah menegurnya, ternyata dia masih diingat. Akhirnya dia dan keluarganya masuk tanpa dikutip biaya karcis. “Masuk-masuk pak tidak usah pakai karcis,” kata seorang perobek tiket masuk. Lalu anaknya bertanya, “Kenapa kita masuk tidak pakai karcis, terus ayah kok dikenal semua orang?” Dia jawab dengan senyum sumringah, “Saat kuliah, ayah kerjanya di sini. Yang kenal sama ayah bukan hanya orang-orangnya tapi juga binatang-binatangnya.” Si sulung tidak percaya, “Ah, gak mungkin.” Karena yang anaknya bayangkan ayahnya tamatan Universitas di Amerika, kok kerjanya seperti itu. Dia hanya bisa tersenyum melihat respon anaknya.
Pada tahun ketiga barulah dia mulai mengikuti organisasi. Mula-mula dia menjadi anggota organisasi kedaerahan, namun kemudian dia menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Alasan kenapa dia mengikuti HMI adalah karena orang tuanya salah seorang pengurus partai Masyumi yang masih bersaudara dengan HMI.
Skill yang paling ditekuninya saat berstatus mahasiswa yakni ilmu kebahasaan. Awalnya dia ingin belajar bahasa lewat kursus tetapi tidak punya duit. Untuk mensiasatinya, sepulang kerja dia bergegas ke Lembaga Indonesia Amerika (LIA) di depan Mesjid Agung. Dia mendaftar sebagai anggota karena setiap anggota memiliki kewenangan meminjam dua buku sekali pinjam. Dan tidak hanya itu, dia juga pernah menjadi anggota British Council dan Perpustakaan Daerah.

Membaca Buku, Kunci Kesuksesan
Saking cintanya membaca buku, kemana-mana dia tak lupa membawa buku sampai sekarang. Di kediamannya, terdapat perpustakaan mini berukuran 6x6 m di lantai dua yang berisi rak-rak dipenuhi buku. Sekarang sudah tidak muat sehingga dibuat kembali di lantai satu.
Saat asyik-asyiknya membaca buku di Lembaga Indonesia Amerika (LIA), dia berbincang-bincang dengan seorang yang juga membaca buku di sana. Ternyata dia bekerja di travel agent. Bincang-bincang itu pun berlanjut dalam bahasa Inggris. Orang tersebut lalu berkata, “Kamu bahasa Inggrisnya sudah bagus, kenapa tidak bekerja jadi penerjemah?” Kemudian dijawabnya, “Bukannya sulit jadi penerjemah?” Orang tersebut menimpali, “Tidak, bahasa Inggris saya yang pas-pasan saja bisa jadi penerjemah.” Setelah itu, dia percaya diri untuk melamar menjadi penerjemah. Hasilnya dia diterima menjadi guide interpreter.
Beberapa tahun berprofesi menjadi penerjemah, dia sudah mengelilingi banyak tempat-tempat menarik, dari Bali sampai ke Thailand. Profesi ini membuatnya cukup mapan karena dinilai dengan hitungan dollar. Kemudian, dia memutuskan untuk married dengan gadis desa yang dia kenal ketika orang tua si gadis meminta tolong untuk dipermudah masuk ke IAIN SU. Hanya butuh satu bulan baginya untuk meneguhkan hati pada gadis tersebut.
Sosok istri pertamanya itu yang selalu memotivasinya untuk menyelesaikan studi (BA menjadi Drs). Akhirnya dia memutuskan untuk bersekolah lagi sambil bekerja serta berumah tangga hingga pada tahun 1982 dia menyelesaikan sarjana lengkap dengan gelar Drs. Itu juga sudah agak terlambat wisudanya.
Tawaran pekerjaan sebagai dosen IAIN SU datang setelah diwisuda. Yang menawarkannya adalah dekan Fakultas Syarah, Pak Shaleh Harahap. Istrinya juga memang tidak suka dia terus bekerja di travel agent, karena dia sering melancong, meninggalkan rumah. Sejak itu saya putuskan untuk menjadi dosen.
Di tengah perjalanan menjadi dosen, dia merasa ilmunya tidak cukup, ada perasaan tidak puas dirasakannya. Kemudian dia tertarik untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Dia mengikuti ujian ke Timur Tengah dan lulus. Sesaat keberangkatan, calon mahasiswa harus membeli tiket masing-masing, sayangnya dia tidak punya dana yang cukup sehingga diurungkannya niat tersebut.
Keinginannya untuk menimbah ilmu keluar negeri tidak sampai disitu saja. Dia kemudian mengikuti beasiswa Fullbright ke Amerika. Dan akhirnya perjuangan tersebut berhasil. Tidak seperti beasiswa sebelumnya, Beasiswa Fullbright membiayai seluruh tanggungan mulai dari Indonesia sampai Amerika termasuk tiket pulang-pergi.
Pada beasiswa Fullbright, dia memilih tiga tempat yang terbaik di Amerika: Harvard, Chicago dan University of California. Hanya saja Fullbright tidak menyetujui beasiswa di Harvard University karena biayanya terlalu mahal. Sedangkan di Chicago, Fazlur Rahman orang yang merekomendasikannya sekaligus dosen yang dituju di sana telah meninggal dunia. Beliau berasal dari Pakistan. Bukunya banyak beredar di Indonesia dan hampir semua bukunya pernah dia baca. Karena dosen yang dituju itu meninggal, dia tidak tertarik lagi memilih Chicago. Kemudian dia bergegas ke Los Angeles, California. Dia menetap di sana sejak 1986 sampai 1994 untuk menyelesaikan program S2 di University California Los Angeles (UCLA). Sekitar 6 bulan dia tidak kuliah lalu dia mendapat beasiswa S3.
Kemudian datang panggilan dari pemerintah, dia harus pulang ke Indonesia, kalau tidak pulang pegawai negerinya dicopot dan malah katanya harus ganti rugi, padahal istri dan anaknya sudah dibondong ke negeri Paman Sam itu. Jadi, di akhir tahun 1994, dia balik ke Indonesia. Akan tetapi dia masih harus bolak-balik Indonesia-Amerika karena pekerjaan di Amerika urung dia tinggalkan.

Peran Keluarga Dalam Kesuksesan
Sosok berpengaruh yang paling dominan sejak Fadhil kecil adalah kedua orang tuanya. Ayahnya lah yang banyak mengajarinya ilmu-ilmu agama dan umum sejak kecil sedangkan ibunya sangat berperan penting dalam pembentukan karakternya. Dia biasa memanggil ibunya dengan panggilan omak. Omak-nya tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga walaupun beliau pernah sekolah guru tapi dia tidak mengajar.
 Setelah berkeluarga, istrilah yang sangat mendukung kariernya. Istrinya itu tamatan Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang. Dia orang Minang, tapi orang Minang yang lahir di Medan. Mertua perempuannya semarga dengannya, Lubis. Istrinya lah yang mengarahkannya untuk menjadi dosen.
Banyak kenangan dari istrinya yang pertama itu. Ketika dia pulang dari Amerika, karena anaknya ketiganya laki-laki, istrinya menginginkan hamil kembali kalau Allah berkenan bisa memperoleh anak perempuan. Karena istrinya orang minang, istrinya ingin sekali memiliki penerus berupa anak perempuan. Padahal umurnya sudah di atas 40 tahun dan istrinya sekitar 39 tahun waktu itu.
Ketika istrinya hamil menjelang 8 bulan terjadi komplikasi berketepatan malam tahun baru, istrinya jatuh di kamar mandi. Istrinya dibawa ke Rumah Sakit Putri Hijau, sayangnya karena malam tahun baru tidak ada dokter spesialis kandungan, hanya ada dokter umum yang tidak begitu paham cara penanganannya. Akibat lamanya penanganan, akhirnya janinnya meninggal di dalam kandungan. Istrinya keracunan tapi masih hidup selama 3 minggu setelah kejadian tersebut, lalu istrinya meninggal.
Tiga tahun berlalu, dia kembali menikah dengan mahasiswinya. Dulu istri keduanya itu guru les anak-anakya. Anak-anaknya menjadi akrab dengan istrinya tersebut. Dari istri keduanya, dia mendapat seorang anak laki-laki lagi.

Berusaha Lalu Menuai Hasil
Dulu dia pernah bercita-cita keliling dunia, terinspirasi dari banyak buku petualangan yang dibacanya. Akhirnya impiannya itu tercapai. Hampir semua negara sudah dia jejaki. Ke Afrika sudah, ke Eropa sudah sampai ke ujung Kanada, Quebec juga sudah pernah.
Anak-anaknya sering meledeknya, “Ayah sering jalan-jalan ke luar negeri, tapi tidak pernah keliling Indonesia.” Memang hampir semua negara-negara Eropa dan Amerika yang notabenenya negara-negara maju sudah dia jejaki baik karena urusan kerja atau sekedar liburan, namun dia kurang mendatangi negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Jadi anak-anaknya sering bilang ayahnya terlalu western centrist.
Kebanyakan dia keluar negeri karena urusan kerja. Dia pernah mengajar di Montreal, Kanada. Dia sempat mengajar di Rochester di Negara bagian New York. Dia juga yang pernah mengajar di Kanada, di Chulalongkorn di Bangkok, kemudian  yang terakhir dia mengajar di Ateneo The Davao Filipina.
Setelah lama berkiprah di dunia pendidikan, akhirnya dia dikukuhkan menjadi guru besar di bidang ilmu filsafat. Dia pun ingin mengajarkan filsafat dengan terlebih dahulu mematahkan pendapat bahwa filsafat itu ilmu yang aneh, tidak cocok, terlalu tinggi, sehingga dia ingin mengubah pola pikir rumit tersebut dengan pemikiran bahwa filsafat itu sesuatu yang kita butuhkan sehari-hari. Malahan dalam lelucon pun sebenarnya terdapat filsafat. Jadi di samping dia menulis filsafat yang agak rumit-rumit, dia juga menulis buku-buku filsafat untuk mahasiswa S1 dengan penjelasan yang mudah dipahami.
Sebenarnya dia lebih sering menulis soal filsafat dalam bahasa Inggris ketimbang dalam bahasa Indonesia. Dia menganggap setiap tulisannya yang dibahas dalam forum diskusi agama tentang hak asasi selalu dikritik habis-habisan. Dengan alasan kenyamanan, tulisan-tulisannya di beberapa harian lokal maupun nasional, sudah dia poles sedemikian halus berbeda dengan tulisan-tulisan yang dia publikasikan di jurnal-jurnal Internasional.
Dia pernah diundang ke Jenewa, Swiss karena tulisannya yang menarik tentang hak asasi anak: The Right of Children in Islamic Perspective. Dia juga pernah diundang ke suatu pertemuan di New York karena tulisannya tentang perempuan dan hak-hak perempuan: Bolehkah Perempuan Menjadi Hakim? Malah ide-ide yang dia kemukakan itu tidak pernah dikemukakan di Indonesia. “Karena kalau di Indonesia, imbasnya akan langsung dikejar-kejar pihak tertentu dan dicap liberal,” tandasnya.
Nanti ketika dia tidak menjabat rektor lagi, dia berkeinginan untuk menulis pemikirannya dengan lebih terbuka agar orang-orang tidak mengait-ngaitkannya lagi dengan jabatannya sebagai rektor. Kalaupun jadi bahan pembicaraan orang, orang bukan men-judge IAIN SU-nya, tapi dia pribadi.

IAIN SU Harus Maju Ditangannya
Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia termasuk IAIN SU harus benar-benar menjadi center of excellence. Dia belajar dari pengalamannya berangkat ke Amerika bersama Din Syamsudin, Qodri Azizi, Azyumardi Azra, dan lain-lain. Dulu sejak dia dan teman seperjuangannya tersebut satu periode, mereka sering berdiskusi panjang soal quovadis PTAIN. Ilmu di IAIN ini mengalami dikotomi, lmu agama dipisahkan dengan ilmu umum, banyak hal yang harus diselesaikan dari segi filosofisnya. Seharusnya orang Islam itu dinamis, bisa berpikir maju dan tidak terperangkap dengan pemisah-pemisah.
Dengan label sekolah tinggi atau institut, IAIN SU tidak akan maju. IAIN SU harus bertransformasi menjadi UIN karena Universitas di Indonesia memiliki jangkauan yang lebih luas di segala lini. Dampak positifnya, segala civitas IAIN SU dapat mengubah pola pikir dan cara pandang sehingga lebih dinamis terhadap tuntutan zaman yang terus dinamis pula. Kalau dibandingkan ketika dia pulang tahun 1994, IAIN SU sekarang sudah lebih terbuka. Dulu, dia sempat mengajak orang kulit putih, temannya, untuk memberikan kuliah di kelasnya, lalu dia dipanggil oleh dekan. “Kenapa itu orang kafir disuruh mengajar di IAIN,” kata dekannya dulu. America Corner juga sering dikritik sebagai sarana Amerika mengkafirkan cendekiawan Islam. Padahal menurutnya, American Corner dapat dijadikan fasilitas untuk mengenal Amerika lebih dekat, menuai manfaat dari negara adidaya itu. Belum lagi dia dituduh liberalis, orientalis, bahkan kapitalis. Dia pernah juga dianggap agen Barat. Mereka bilang dia berbahaya, telah menjadi antek-antek negara kafir. Padahal dia ingin menunjukkan bahwa semestinya banyak pelajaran positif yang dapat diambil dari mereka. Misalnya dari kecanggihan teknologi.  
Menurutnya, mengubah cara pandang yang sudah bergenerasi ini tidak mudah. Jadi, dia melakukannya perlahan-lahan tapi pasti. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menjadi pimpinan baik di tingkat fakultas maupun di tingkat institut. Misi yang sedang dia laksanakan diantaranya dengan penambahan program studi dan penambahan dosen-dosen yang berkualitas, yang kemudian dosen tersebut dikirim untuk memperluas ilmunya dengan studi banding di berbagai negara. Harapannya, hal ini memberikan peluang dosen-dosen tersebut untuk menyerap ilmu sebanyak-banyaknya di sana dan mengimplementasikannya di IAIN SU.
Uang bukanlah penghalang baginya untuk membawa IAIN SU lebih terkemuka. Seolah tidak mau kehabisan cara, dia menjalin relasi ke Bank Pembangunan Islam (Islamic Develoment Bank). Keberuntungan menghampiri, pembiayaan transformasi IAIN SU menjadi UIN mendapat bantuan dari IDB.
Dari seluruh IAIN di Indonesia, IAIN SU termasuk enam IAIN yang mendapat Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tidak semua IAIN dapat itulah yang mau kita kembangkan. Kegiatan ini mendukung IAIN SU menjadi UIN SU. IAIN SU juga salah satu dari empat IAIN yang mendapat bantuan dari IDB untuk tahun 2014.
Pengadaan laboratorium bahasa yang dananya tidak mencukupi, akhirnya dia menjalin relasi dengan negara Saudi Arabia untuk meminta bantuan.  Sehingga dibangunlah laboratorium di kampus II IAIN SU dari kumpulan wakaf duta besar Saudi Arabia melalui Kedubes Saudi Arabia, mereka yang mencari calon-calon pewakaf hingga terkumpul dana bantuan sebesar 6 Milyar rupiah lebih.
Cita-citanya untuk membangun IAIN SU masih berlanjut. Terlebih-lebih cita-citanya mengubah IAIN SU menjadi UIN SU. Dia bermimpi kampus di Tuntungan bisa menjadi kampus asri yang diidam-idamkan. Berdiri di atas tanah berukura 16 ha, di daerah pegunungan yang belum berpolusi. Prediksinya, lima tahun lagi daerah di kota Medan akan berpolusi, daerah seperti di Tuntungan yang diidam-idamkan orang-orang. Kondisi ini sangat strategis untuk mendukung IAIN SU menjadi UIN SU.
Menurutnya, niat baik saja belum cukup, aksi kerja keras yang dibutuhkan. Kalau IAIN SU ingin maju, segala pihak harus berbenah, mulai dari atasan sampai bawahan, dengan meningkatkan kualitas masing-masing. Insya Allah!
*Biografi ini telah dimuat dalam buku Guru Besar IAIN SU

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR ISLAM DI NEGERI NONMUSLIM (Biografi Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A.)

Keliling Pulau Samosir dengan Bus Mini