SEPAK TERJANG BOCAH MEUNASAH (Biografi Prof. Dr. Abd. Mukti, M.A.)


Oleh
Romi Aswandi Sinaga


Si Bungsu dari Meunasah

            Meunasah Tanjong adalah sebuah desa yang terletak di bekas wilayah kerajaan Samudera Pasai, sekarang berada di wilayah administratif kemungkinan Simpang Mulieng, Kecamatan Syamtalira A. Letaknya kira-kira 30 km sebelah timur kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Sebagian besar masyarakatnya bekerja di sektor pertanian dan sebagian kecil bekerja sebagai pegawai negeri dan pedagang. Para petani di desa ini mengolah sawah mereka sebanyak dua kali setahun, yang dialiri dengan irigasi yang relatif sudah bagus. Sejak hadirnya proyek-proyek besar, seperti Exon Mobil, PT. Aron, pupuk Iskandar Muda, Pabrik Kertas Kraf, yang beroperasi disekitar kota Lhoukseumawe dan kabupaten Aceh Utara sejak tahun 1975, masyarakat di kedua daerah ini sudah sangat terbuka tehadap perubahan-perubahan sosial ekonomi dan budaya yang terjadi di sekitar mereka. Sejak itu, misalnya minat para pelajar di kedua daerah ini untuk masuk sekolah umum meningkat bila dibandingkan dengan sebelumnya. Di desa Meunasah Tanjong itulah Abdul Mukti dilahirkan pada tanggal 01 Oktober 1959.
            Dia terlahir dari pasangan Usman Bin Ma’un dan Hj. Marhumah binti Arsyad. Selain belajar di Sekolah Rakyat, ayahnya juga belajar di beberapa pesantren di Aceh Utara, seperti Pesantren Cot Pling, Bayu. Informasinya diperoleh dari teman dekat ayah dia, Teungku Muhammad Yunus Blang Asan, pimpinan pesantren Laga Baro, Kecamatan Tanah Pasir, dan di sini ayahnya belajar sampai dia lahir. Mungkin karena lokasinya berdekatan dengan Huta mereka. Ayahnya mempunyai seorang kakak perempuan yakni Aisyah (almarhumah), dan seorang adik perempuan yang bernama Aminah. Kedua saudara ayahnya ini sangat diang kepada keponakannya. Ayahnya meninggal ketika dia berusia belum genap dua tahun. Sejak itu dia dibesarkan oleh ibunya seorang. Pendidikan ibunya hanya tingkat Sekolah Rakyat (SR) Di Aron, masih dalam wilayah Kecamatan Syamtalira A.
            Abdul Mukti, nama yang diberi ayahnya. Nama ini diambil dari nama Ibnu Mu’thi, nama pengarang kitab alfiyyah, sebuah kitab yang membahas tentang ilmu Bahasa Arab. Dengan nama ini, ayahnya bercita-cita agar dia bisa menjadi guru bahasa Arab kelak. Tampaknya apa yang di cita-citakan ayahnya itu sudah terwujud saat ini dengan diangkatnya dia sebagai dosen dalam mata kuliah Bahasa Arab di Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa Arab, IAIN SU sejak tahun 1988.
Kalau ditelaah secara harfiah, Abdul Mukti berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua patah kata yakni: ‘abd yang berarai seorang hamba, dan muk‘thiy (ism al-fâ‘il) yang berarti yang memberi. Setelah kata kedua itu digabungkan maka maknanya menjadi hamba yang memberi.  Maksudnya adalah guru , yaitu orang yang memberikan pelajaran kepada murid-muridnya.
            Abdul Mukti, menurut ibunya, bukanlah nama pertamanya. Nama pertama yang diberikan padanya adalah Abdul Barriy. Karena nama ini kemudian ternyata tidak cocok, maka dirubah menjadi Abdul Mukti seperti sekarang ini. Bagi umat Islam, nama merupakan doa, dan oleh karena itu Nabi memesankan kepada orang tua untuk memberikan memberikan nama anaknya dengan nama-nama yang baik seperti nama para Nabi dan Rasul serta nama ulama. Dan biasanya nama seorang anak dalam Islam diberikan dalam acara aqiqah. Jadi tidak seperti kata William Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama”. Di dalam Islam sebuah nama sangat berarti bagi yang punya nama tersebut.
            Dalam masyarakat muslim sudah menjadi tradisi bahwa orang tua selalu dipanggil dengan nama anaknya yang sulung. Misalnya, ibunya Husniati demikianlah panggilan keluarga dan kerabat buat ibunya . Husniati adalah nama kakak kandungnya, Hj. Husniati Usman. Dia bersaudara hanya dua orang, kakaknya dan dia. Kakaknya sangat banyak membantunya dan mendoakan dia. Kakaknya ini tinggal di Desa Meucat Kecamatan Syamtalira  A, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Menurut keluarga dan kerabat, kakaknya itu mirip ayah, sementara dia mirip ibu. Ada teori yang mengatakan bahwa kalau anak perempuan mirip dengan ayahnya dan sebaliknya anak laki-laki yang mirip dengan ibunya akan sukses. Paling tidak ini berlaku untuk pribadinya.
            Dia dibesarkan di Desa Dayah Teungku, di desa dimana ibunya tinggal sejak ayahnya meninggal pada 1961. Sebagaimana anak-anak seusianya yang lain, dia menghabiskan masa kecil di desa Dayah Teungku dengan bermain-main bersama teman-teman seusianya. Banyak permainan trasdisional ketika itu yang sangat mereka senangi, antara lain adalah permainan gasing dan galah. Akan tetapi dalam permainan itu dia sering mengalami kekalahan.

Berawal dari Membaca Qa’idat Baghdâdiyat
            Dia memulai pendidikan nonformal dengan` belajar al-Qur’an dan menghitung dalam bahasa Arab pada ibunya di rumah. Kitab yang dipelajari adalah kitab Qa’idat Baghdâdiyat, sebuah kitab bagi pemula. Sesudah khatam kitab ini, dia lanjutkan belajar pada adik kakek dari pihak ibunya, Teungku Haji Muhammad. Kepadanya dia belajar ilmu tajwîd dan dasar-dasar agama dan bahasa Arab. Beliau mengajarinya bahasa Arab dengan cara menuliskan dasar-dasar qa’idah sharaf  pada selembar kertas untuk dia hafal. Setelah satu qaidah dia hafal, baru diberikan qa’idah lainnya. Materinya adalah  terdiri dari tsulâsiy mujarrad dan tsulîsiy mazid.
            Pada tahun 1965, kawan-kawan separmainannya sudah mulai masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) Simpang Mulieng, satu-satunya SD yang ada dikampungnya ketika itu. Sementara dia belum mau didaftarkan oleh ibunya masuk sekolah itu, dengan alasan usianya ketika itu belum tujuh tahun. Memang pada waktu itu syarat masuk sekolah tampaknya sangat ketat bila dibandingkan dengan waktu sekarang. Syaratnya ialah selain sudah berusia tujuh tahun, si calon murid juga harus mampu memegang daun telinga kirinya dengan tangannya yang sebelah kanan secara sempurna dan tidak boleh dalam posisi miring sedikitpun. Sedang dia pada waktu itu belum sampai tangan kanannya memegang tangan kirinya secara utuh. Hanya yang diterima di sekolah itu anak-anak yang sudah memenuhi persyaratan tersebut. Jadi dia harus menunggu setahun lagi untuk bisa masuk sekolah dasar.
            Karena itu, dia setiap pagi juga mengunjungi sekolah SDN tersebut, akan tetapi dia tetap masuk ruangan belajar bersama-sama kawan sepermaianannya yang sudah mendaftar duluan. Dia hanya bisa menengok jalannya pembelajaran lewat celah-celah dinding bambo sekolah saja. Sesekali Pak Hasan, guru yang mengajar di kelas satu, memanggilnya masuk ruangan kelas untuk belajar. Akan tetapi yang dia lakukan pada waktu itu adalah lari dan bresembunyi di sebuah masjid yang dekat dengan sekolah itu, namanya masjid Murtadha. Nama ini berasal dari nama Teungku Syekh Muratdha yang mendirikan masjid tersebut dan beliau seorang guru agama yang membangun sebuah Dayah tempat beliau mengajar di desa kami, namanya Dyah Teungku. Dayah (Arab zâwiyah). Dari situlah diambil nama desa kami tersebut. Setelah wafat beliau dipanggil Teungku Lam Kubu, (Teungku dalam kubur). Tradisi memakai gelar semacam ini berlaku juga dalam masyarakat Cirebon di Jawa Barat yang memanggil calon raja mereka yang wafat dengan panggilan Pangeran Paserean (Pekuburan). Syekh Murtadha tersebut dipercaya berasal dari Arab Yaman yang pernah menetap di Kesultanan Banten Jawa Barat, dan diperkirakan pindah ke daerah Aceh pada permulaan paruh kedua dari abad ke-18, sejak Sultan Agung Tirtayasa bangkit melawan Belanda. Ibunya merupakan keturunan dari Teungku Syekh Murtadha tersebut dari pihak ibunya. Masih terngiang di telinganya ucapan nenek dari pihak ibunya yang mengatakan bahwa, “Nenek kami berasal dari Banten”.
            Dia memulai pendidikan formal pada tahun 1966 . Pada tahun ini dia didaftarkan oleh ibunya ke Sekolah Dasar Negeri Simpang Mulieng, dan diterima di kelas satu. Waktu belajarnya pagi hari. Pak Hasan tetap mengajar di kelas satu. Ternyata beliau memperhatikan penguasaannya dalam setiap pelajaran yang beliau berikan, sehingga beliau mangatakan padanya, “Kalau mau masuk belajar tahun lalu, sekarang kamu kan sudah duduk di kelas dua”. Oleh beliau dia ditunjuk sebagai ketua kelas, tugas dia hanyalah mengumpulkan teman-teman sekelas di depan ruangan belajar untuk memasuki ruangan secara tertib sebelum pelajaran dimulai, hal ini diperlukan dalam pembentukan kepribadian murid.
            Dia hanya sempat belajar di Sekolah Dasar Negeri ini hanya tiga tahun sampai kelas tiga saja. Karena ibunya menikah lagi dengan Teungku Haji Mansyari bin Abdurrahman, ayah tirinya sekaligus gurunya, dari desa Sumbok, Kemukiman Simpang Paya, Kecamatan Tanah Luas (sekarang Kecamatan Nibong), Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Jadi dia ikut ibunya pindah ke desa Sumbok dalam tahun 1968. Di tempat tinggal yang baru ini, dia melanjutkan sekolah, tetapi bukan ke Sekolah Dasar (SD) melainkan masuk ke Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sumbok, dan diterima di kelas tiga. Madrasah ini letaknya di Keude Nibong, yang dilalui oleh kereta api, dan karena itu kedai mereka ramai. Setiap hari dia bersepeda ke madrasah, yang jaraknya kira-kira dua km dari desa tempat dia tinggal.
            Di samping itu, dia belajar di Meunasah pada malam hari, waktunya sesudah salat magrib hingga jam sepuluh malam. Gurunya adalah Teungku Haji Syamsuddin bin Medudehak, dikenal seseorang alim dan imam Muenassah Sumbok ketika itu. Yang dia pelajari di Meunasah adalah Qiraat al-Quran, ilmu fiqih dan bahasa arab. Di dalam ilmu fiqih, kitab yang dia pelajari antara lain: Matan Taqrib dan Bajuri karya Ibrahim al-bajuri. Sementara dalam ilmu bahasa arab, kitab yang dipelajari adalah Tahrir al-Aqwal, al-Ajurrumiyyat, al-Kawakib al-duriyyat dan kitab matan alfiyat yang disebut terakhir ini adalah karya abu’abd al-lah jamala al-din muhammadibn Ábd al-Lah ibn malik al-Thai al-Andalusi al-jiyani al-syafi atau yang lebih dikenal dengan nama singkat Ibnu Malik. Di Muenasah tidak diajarkan ilmu pengetahuan umum. Dan gurunya tersebut adalah teman dekat ayahnya, yang memegang jabatan sebagai kepala desa Sumbok. Dia sering dilibatkan oleh ayahnya dalam pelaksanaan administrasi pemerintah desa terutama membacakan surat- surat masuk dan membuat surat-surat yang diperlukan, layaknya seperti jabatan sekretaris desa pada saat itu. Hal ini disebabkan ayahnya tidak pandai membaca dan menulis huruf latin. Beliau hanya mengenal huruf arab sebagai alumni beberapa pesantren di daerahnya. Menurut penuturan ayahnya hal ini disebabkan ketika beliau diminta oleh Belanda untuk masuk sekolah yang mereka dirikan, beliau menghindar karena mengikuti pandangan yang berkembang pada waktu itu bahawa masuk sekolah Belanda adalah hukumnya haram dan jadi kafir. Karena itu beliau meninggalkan kampung halaman dan memilih belajar di pesantren. Pandangan inilah yang kemudian menggodanya untuk meneliti apa benar teori- teori dan praktek- praktek pendidikan islam pada masa klasik mengabaikan ilmu pengetahuan umum  dalam kurikulum pendidikannya. Selain mendorongnya rajin belajar, ayahnya menanamkan nilai- nilai luhur dan membentuk kepribadiannya lewat sejarah nabi, para sahabat, para ulama, dan para pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia dalam melawan Belanda, yang diceritakan pada setiap kesempatan. Dan akhirnya, dia menyelesaikan Sekolah Dasar pada 1972.

Mengembangkan Kepribadian dan Intelektual   

            Dengan berbekal ijazah MI, tanpa ditemani orangtua, dia mendaftarkan diri  pada pendidikan guru agama swasta 4 tahun Syamtalira A di simpang Mulieng pada tahun ajaran 1973. Di sini, bahasa inggris, aljabar, ilmu ukur dan matematika , merupakan pelajaran baru baginya. Tetapi dia yakin semua pelajaran ini dapat mengembangkan kepribadian dan intelektual setiap orang yang mempelajarinya. Sekarang baru dia tahu kalau Imam  Syâfi’i pernah mengajurkan belajar Matematika, sebagaimana Imam al-ghazali menganjurkan belajar filsafat untuk meningkatkan intelektual. Di sekolah ini dia menempuh pendidikan tiga tahun. Karena dia diizinkan menempuh ujian akhir sekolah pada penghujung tahun ajaran 1975.
            Pada tahun 1976, dia melanjutkan studi ke Pendidikan Guru Agama 6 tahun di Lhokseumawe. Karena kota Lhokseumawe jauh dari huta mereka, maka dia harus tinggal di kota ini. Pulang kampung hanya sekali seminggu. dengan demikian aktifitas belajar Meunasah tetap dia lakukan, hingga tamat pendidikan menengah atas ini sejak belajar di PGA, mulailah dia keluar dari lingkungan keluarganya. Drs. M. Isa Hasan, sanak keluarga dari pihak ibunya di jalan samudera Lhoksumawe. Dalam tahun ini juga abangnya H. Abdul Muthalik, pegawai pertamina, pindah dari tempat tugas lama di rantau Panjang Peureulak, Aceh Timur, ke tempat tugas barunya di Aceh Utara, sebagai pegawai PT Aron. Dia tinggal bersama keluarganya di desa Dagu Selatan, kota Lhokseumawe. Dan sejak itu dia pindah ke pesantren Mongeudong sebelah utara mesjid Mengendong, dan tidak jauh darinya. Perjalanan waktu setahun tinggal disini tidak terasa. Pada akhir tahun 1977 dia diperkenankan menempuh ujian akhir, dan kemudian dinyatakan lulus dalam menempuh ujian tersebut.



Antara IAIN Ar-Raniry dan IAIN SU
            Kondisi sosial ekonomi masyarakat kota Lhokseumawe sudah mulai berubah dengan hadirnya proyek- proyek besar sejak tahun 1975 sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Sejak itu dia menyaksikan persaingan hidup dikalangan warganya mulai ketat dan dia yakin ilmu pengetahuan sangat diperlukan dalam memenangkan persaingan itu, bagi yang tidak punya ilmu tentu akan dipinggirkan secara alamiah. Hal ini mendorongnya untuk tidak berhenti belajar. Setelah menamatkan PGAN, dia ditawarkan oleh ayahnya untuk belajar ke al-Azhar Mesir. Ketika itu belum bisa dia kabulkan keinginan ayahnya itu, dikarenakan dia lebih memilih  belajar di IAIN di dalam negeri, karena  dia ingin cepat- cepat menjadi guru bahasa Arab, pilihannya ada dua, yakni IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan IAIN Sumatra Utara. Ternyata dia lebih tertarik ke Medan, dikarenakan banyak mahasiswa IAIN SU yang berasal dari daerahnya, diantaranya adalah Drs. Teungku Ali Muda, Drs. Teungku Hasbi Sabil, H. Amirullah Muhammadiyah, Lc. MA, Drs. H. Amiruddin, Drs. H. Razali, MS, Drs. Syamsuddin M. Yunus, Drs. M. Yunus Basyrah, dan Drs. Syafruddin semuanya tinggal di Asrama Mahasiswa Aceh Medan yang berlokasi di jalan Darussalam, No. 24 (sekarang no. 26 ABC), dan asrama ini dipimpin oleh Ustadz H. Syihabuddin Syah (alm.), seorang ulama dan mubaligh terkenal di kota Medan.
            Setelah mendapat restu dari kedua orang tua, maka dia berangkat ke Medan bersama Kakanda M. Yusuf Juned (alm.), guru MIN Binjai, dan sekampung dengannya, pada bulan Januari 1978. Mereka sampai di kota Binjai pada sore harinya, dan keesokan harinya  beliau mengantarkannya ke Asrama Mahasiswa Aceh Medan. Pimpinan asrama ketika itu adalah Drs. Teungku M.Ali Muda, mahasiswa dan sekaligus Dosen Fakultas Syariah IAIN SU Medan, mengizinkan dia tinggal di asrama. Dia mendaftar pada Fakultas Tarbiyah, memilih Jurusan Bahasa Arab, IAIN SU. Dan dinyatakan lulus setelah menempuh ujian masuk pada bulan Januari 1978.
            IAIN SU menyelenggarakan pendidikan dua tingkat yakni tingkat Sarjan Muda dan satu lagi tingkat Doktoral. Dia menyelesaikan tingkat Sarjana Muda dalam tahun 1981, dan tingkat doktoral dia selesaikan pada tahun 1984, dengan gelar doktorandus. Selanjutnya dia diwisuda pada tanggal 19 Nopember 1984, bertepatan dengan hari Diesnatalis IAIN SU Medan.

Tak Henti Menimbah Ilmu

            Keinginannya untuk menambah ilmu pengetahuan semakin kuat setelah menjadi pegawai negeri sipil yang ditempatkan pada Fakultas Tarbiyah IAIN SU sebagai dosen Bahasa Arab.Ternyata keinginan ini terwujud pada tahun akademik 1990/1991 setelah lulus ujian seleksi masuk Program Pascasarjanan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan dia mulai menjalani kuliah S2 pada tanggal 01 September 1990 dengan Konsentrasi Studi Islam. Dia menyelesaikan program ini pada tahun 1993, dengan menulis tesis berjudul “Pembaharuan Muhammad Ali Pasya dalam Lembaga Pendidikan di Mesir” di bawah bimbingan Prof.Dr.H.Aqib Suminto dan Dr. Komaruddin Hidayat.
            Kemudian dia melanjutkan studi S3 Ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun akademik 1994/1995  dengan program Studi Islam. Yogyakarta dikenal sebagai sebuah kota pelajar, yang memiliki tidak kurang dari 75 buah perguruan tinggi negeri dan  swasta, yang menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat diploma hingga S1, S2 dan S3. Mahasiswanya berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Di kota ini juga dijumpai sebuah pusat perbelanjaan buku, yakni Shopping Center, letaknya dekat jalan Malioboro yang menyediakan buku-buku mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. Setiap hari banyak dikunjungi oleh para pelajar dan mahasiswa.
            Di S3 PPs IAIN SUKA ini, tidak banyak mata kuliah yang kami tekuni dan tidak ada satupun mata kuliah yang berkenaan dengan bidang pendidikan yang menjadi spesialisasinya. Diantaranya adalah mata kuliah Tafsir, Hadis, Oksidentalisme, Pembaruan Islam di Indonesia abad XX, dan Studi Naskah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Mata kuliah Oksidentalisme diberikan selama tiga semester. Masing-masing mengenai periode klasik, tengah, dan modern, sehingga dia sangat merasakan pentingnya studi disiplin ilmu ini, ketika menulis disertasi.Tanpa berlama-lama libur semester I, dia mempersiapkan proposal disertasi. Ketika menulis tesis yang berjudul “Pembaharuan Muhammad Ali Pasya dalam Lembaga Pendidikan di Mesir “, dia banyak mendapat informasi bahwa masyarakat Mesir menentang pembaruan pendidikan yang dilaksanakan pemimpin Mesir tersebut. Penentangan yang sama juga dialami para tokoh pembaruan  Pendidikan Islam di Indonesia pada abad XX. Untuk mencari legitimasi doktriner apakah pembaruan pendidikan Islam yang dilaksanakan  pemimpin pemimpin Mesir tersebut bertentangan atau tidak dengan teori-teori dan praktek-praktek pendidikan Islam sebagaimana yang dipraktekkan  Nabi dan para khalifah, sultan-sultan dan para atabeg di periode klasik? Untuk itulah dia meneliti pendidikan pada Dinasti Saljuq dengan memokuskan pada Madrasah Nizhamiyah. Setelah penulisan proposal rampung dia serahkan ke PPs , dan ternyata hasilnya dinyatakan diterima.
            Dalam menulis proposal disertasi, dia meniru kereta api. Di stasiun, kereta api berhenti hanya sebentar saja, akan tetapi dalam perjalanannya lama. Itu artinya, dia dalam membuat proposal disertasi cepat, tetapi dalam penulisannya lama. Dan bukan seperti pesawat yang lama parkir di bandara, tetapi sangat cepat dalam perjalanannya. Itu artinya, dalam membuat proposalnya lama, tetapi ketika menulis cepat. Namun dua-duanya bagus, tetapi yang lebih bagus adalah ketika mempersiapkan proposal seperti kereta api dan menulis seperti   pesawat. Yang tidak bagus tidak seperti kereta api dan tidak pula seperti  pesawat. Meskipun proposal disertasi sudah rampung 100 % namun dia belum bisa menulis, karena kuliah masih tersisa dua semester lagi. Yang dapat dia lakukan ketika itu hanyalah mengumpulkan data-datanya saja yang dia yakini berserak-serak di dalam sejumlah kitab klasik, baik yang berbahasa Arab maupun klasik.
            Selain mengikuti kuliah, waktu dia gunakan untuk mengunjungi Shopping Center, took-toko buku, Perpustakaan Universitas Gajah Mada (UGM), Perpustakaan Universitas Negeri Yogya, Perpustakaan Bung Hatta, Perpustakaan Ignatius, dan Perpustakaan Yayasan Wakaf Islam UI Yogyakarta. Metode yang dia gunakan dalam penulisan disertasinya adalah metode sejarah (historical method) dengan pendekatan sejarah sosial (historical social approach), di bawah bimbingan Prof.Dr.H.Nouroazzaman Shidiqi, MA, Prof.Dr.Noeng Muhadjir, dan Prof.Drs.A.Muin Umar. Sebelum selesai menulis, pembimbing 1, Prof.Dr.Nourrouzzaman Shiddiqi wafat, lalu dia minta digantikan oleh Prof.Dr.M.Atho Muzhar. Dia menyelesaikan S3 dalam bulan Nopember 2000.

Meniti Karir
           
Ketika dia masih kuliah pada tingkat doktoral di Fakultas Tarbiyah, Jurusan Bahasa Arab, IAIN Sumatera Utara, dia sudah bekerja sebagai asisten dosen dari Bapak Drs. H. M. Daud Ibrahim. Dia menyelesaikan kuliah pada tahun 1984, tahun berikutnya (1985), dia melamar sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah tempat dimana dia kuliah, dan setelah mengikuti ujian seleksi dosen, dia dinyatakan lulus dalam tahun yang sama.
            Dengan demikian, dia memulai pekerjaan sebagai calon pegawai negeri sipil sejak tanggal 1 Maret 1986, dalam golongan III/a, berdasarkan surat keputusan Menteri Agama No. B.II/3.-E/PB. I/11828, tahun 1986. Dia ditempatkan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara. Dua tahun kemudian status kepegawaiannya berubah dari calon pegawai negeri sipil menjadi pegawai negeri sipil, dengan pangkat penata Muda, golongan  III/a, berdasarkan surat keputusan Menteri Agama No. B.II/3-E/2225, Tahun 1988, dan sekaligus dia diangkat sebagai dosen dalam jabatan sebagai asisten ahli pada tahun1991 berdasarkan surat keputusan Menteri Agama No. B.II/3-E/5180. Selanjutnya diangkat menjadi Lektor Muda pada tahun 1994 berdasarkan surat keputusan Menteri Agama No. B.II/3-E/1001, Tahun 1994. Jabatan Lektor diduduki sejak tahun 2007 berdasarkan surat keputusan Menteri Agama no. B.II/3/8497, Tahun 2007. Kemudian dia mencapai karir puncak dengan menduduki jabatan Guru Besar/Profesor sejak 1 April 2009 dalam mata kuliah Sejarah Pendididikan Islam, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 24155/A.45/KP/2009. Pangkat terakhir dia adalah pembina dalam golongan IV/a, terhitung sejak 1 oktober 2009 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. B.II/3/11977 tahun 2009.
            Pada akhir tahun 2009 dia sudah menyelesikan kuliah S3 pada program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, dan selanjutnya pulang ke Medan untuk bertugas kembali pada Fakultas Tarbiyah, tempat dimana dia bekerja, sebagai dosen tetap. Disamping itu, dia juga bekerja sebagai dosen tidak tetap S2 dan S3 pada program Pancasarjana IAIN SU Medan sejak tahun 2001. Dan dalam tahun yang sama, dia dipercayakan untuk memegang jabatan sebagai ketua prodi pendidikan islam pada program pascasarjana IAIN-SU Medan berdasarkan SK rektor IAIN SU, dan ketua prodi pendidikan Islam S3 sejak di buka dalam tahun 2007. Jabatan ini dia pegang hingga Maret 2010. Dan sejak April 2010 hingga saat ini kepada dia dipercayakan memegang jabatan sebagai Asisten Direktur I, yang membidangi akademik, program pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

IAIN SU BUTUH PERUBAHAN

Ada dua hal yang paling penting untuk IAIN SU menurutnya yaitu perubahan secara sistem dan lembaga. Dalam sistem, IAIN SU mesti berpedoman pada sistem pendidikan yang telah diterapkan pada masa Nabi, khalifah dan para ulama terdahulu, yaitu pendidikan yang mengutamakan pada tiga kajian. Tiga kajian tersebut adalah kajian agama, kajian umum dan kajian teknologi.
            Selama ini, IAIN SU masih berkonsentrasi pada kajian agama dan beberapa kajian umum, sementara  kajian teknologi belum menyapa kampus tempatnya mengajar. Padahal jika ditelaah negara-negara Islam di belahan dunia, termasuk Indonesia, mengalami krisis kemajuan teknologi. Keadaan ini bertolak dengan Negara-negara seperti Amerika dan Cina. Tampaknya masyarakat kita perlu memahami hadis nabi “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”. Sejak dulu negeri Cina menjadi sorotan atas kemajuan teknologinya. Masyarakatnya sudah mampu membuat kertas, kompas dan juga jam. Hal ini dapat dijadikan contoh betapa berharganya kajian teknologi di kalangan masyarakat Islam.
            Point berikutnya adalah lembaga, dia mengusulkan IAIN SU segera berkembang menuju UIN SU. Karena dengan cara merubah kelembagaan ‘institut’ menjadi ‘universitas’ kesempatan untuk mengembangkan kajian Islam yang berdampingan dengan kajian umum dan teknologi. Dengan begitu masyarakat Islam tidak lagi bergantung pada Negara-negara nonislam yang perkembangan teknologinya jauh lebih maju.

Komentar

  1. Semoga ilmunya bermanfaat untuk semua ummat. Selamat untuk kakanda bang Mukti.🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR ISLAM DI NEGERI NONMUSLIM (Biografi Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A.)

Jejak Sukses Pecinta Buku (Biografi Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, M.A.)

Keliling Pulau Samosir dengan Bus Mini