BERJUANG DEMI ILMU (Biografi Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, M.A.).
Oleh
Romi Aswandi Sinaga
Ilmu
dan Sebilah Pedang
Sei
Lendir, 12 Desember 1954 lahirlah Ramli
Abdul Wahid. Pada saat dia lahir Sei Lendir atau Sungai Lendir, Kecamatan
Sungai Kepayang, Asahan ramai seperti kota karena kebun kelapanya subur. Namun
sekarang tidak bertuan. Dia adalah anak sulung dari tiga bersaudara kandung
dari pasangan Abdul Wahid Simangunsong dan Hj. Salmiah Sirait.
Dia
dibesarkan oleh keluarga yang tidak bersekolah. Ayahnya hanya sekolah sampai
kelas 3 SR (Sekolah Rakyat), sedang ibunya sendiri tidak pandai baca dan
menulis, hanya pandai baca Alquran,walaupun dalam kondisi demikian semangatnya
tidak pernah kurang untuk belajar.
Oleh
karena desa tempatnya dibesarkan cukup pelosok, semasa SD dia berjalan kaki
menempuh 5 km menuju sekolahnya. Tidak ada sepeda, karena keterbatasan ekonomi
keluarga. Namun, dia tak mempersoalkan, asal sekolah dan bisa belajar, dia tempuh
semuanya tanpa mengeluh.
Pagi
hari hingga siang dia belajar di sekolah SD, selanjutnya dia mengaji di
Madrasah Ibtidaiyah Al-Washliyah. Tak ayal karena harus bersekolah sampai sore
hari, dia membawa bekal makan siang dari rumah. Untuk makan siang dan salat
Zuhur, dia menumpang di rumah famili.
Sebenarnya
dia tidak mendapatkan dorongan yang kuat dari orang tua dan keluarga untuk
bersekolah. Tetapi, anugerah Allah swt.
memberikannya peluang untuk menambah ilmunya. Dia dan adik-adiknya sangat suka
belajar, tetapi di tengah jalan mereka berhenti karena orang tua tidak mampu
menyekolahkan sehingga mereka tidak dapat menamatkan SD.
Setamatnya
dari Madrasah Ibtidaiyah, dia ingin melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah di kota
Tj. Balai, yakni Madarasah Pendidikan Islam (MPI). Agar dapat melanjutkan
sekolah ke madrasah ini, perlu usaha mati-matian untuk membujuk orang tuanya
bahkan harus bertegang urat dengan ayahnya. Sebab, saat itu keluarganya dalam
keadaan sulit dalam keuangan.
Agar
ayahnya mengizinkan sekolah ke Tj. Balai, dia mengambil sebilah parang tajam
dari dapur, kemudian dia berkata kepada ayahnya, “Kalau saya tidak diizinkan
sekolah, potong sajalah leher saya.” Karena kenekadannya, ibunya yang sedari tadi
mendengar dari dapur, menarik ayahnya. Dia mendengar samar-samar ibunya
membujuk ayahnya, “Biarkan dia pergi sekolah, kalau dia tidak ada makan, dia
kan pulang sendiri.” Ayahnya menimpali, “Itukan mengasi malu namanya, sudah
tahu kita tidak mampu kok dibiarkan pergi sekolah.” Lalu ibunya menegaskan, “Biarkan
saja, daripada gila nanti digantungkannya lehernya di pohon-pohon itu, ya sudah
biarkan saja dia pergi apa boleh buat.” Ayahnya terdiam, kemudian dia setuju.
Besoknya mesin jahit Butterfly-nya
dijual. Hasilnya digunakan untuk membeli beras yang akan dibawanya ke Tanjung
Balai.
Akhirnya
dia berangkat, di sepanjang jalan ayahnya terus menasehatinya tapi dia yang
membututi ayahnya tertawa sambil berkata dalam hati, “Sekarang ayah kalah yang
penting sekarang aku pergi sekolah dan tidak akan pulang sebelum selesai,
biarlah aku menarik becak, biarlah aku menyapu jalan, tidak mungkin aku
kembali.” Begitulah optimisnya untuk melanjutkan sekolah.
Gara-Gara Harimau
Ada
pengalaman mengerikan yang sempat dia rasakan pada saat SD di Sei Lendir Kedai
(pecan), Sei Kepayang. Ketika hendak pulang sekolah sendiri, dia melewati
sebuah tempat sunyi, yang kata orang-orang tempat itu juga angker. Saat itu
sudah sore. Dilihatnya di depannya ada seorang nelayan bernama Pak Kosim yang
baru pulang melaut, dia memikul ikan asin dalam sumpit. Pak Kosim itu tuna
rungu. Dia mempercepat jalan, hampir saja mendekati pak Kosim, dia mendengar
sergahan harimau tepat di dekat pohon durian yang dikenal angker itu. Rasanya
pohon-pohon, rerumputan, bahkan tanah pun bergetar. Dia ketakutan hingga
berlari dan melanggar sumpit ikan pak Kosim. Pak Kosim terkejut, ikan asin yang
dipikulnya pun jatuh. “Ado apo?” Tanya pak Kosim kesal. Dengan gemetaran, dia
menjawab, “Ado harimo.” Berkali-kali dia bilang ada harimau, tapi pak Kosim
terus berkata “Aponyo… aponyo?” karena pikirnya percuma menjelaskan dengannya
yang sulit mendengar, akhirnya dia putuskan untuk lari kembali.
Sampai di rumah nenek Hj. Sofiah, dia lompat
ke rumah itu. Setelah agak reda gemetar badannya, dia pun pulang ke rumah. Akibat
peristiwa naas itu, dia mengalami demam selama 1 bulan gara-gara harimau.
Sebenarnya dia ingin sekali malihat harimau itu, bagaimana bentuknya, seseram
apa rupanya.
Setelah beberapa waktu kemudian, dia pergi ke
pasar malam di Tj. Balai bersama orang tuanya. Di sana dia lihat seekor
harimau. Diperhatikannya dengan perasaan ngeri. Harimau itu disuruh pawangnya
melompati lingkaran api. Namun saat mengaum, suara harimau itu tidak seperti
suara harimau yang dia dengar sebelumnya. Dia masih penasaran. Barulah waktu di
Jakarta, dia mengunjungi Taman Safari. Di sana dia mendengar ngauman seperti
suara ngauman yang membuatnya demam dahulu. Harimau itu ternyata ada di
seberang aliran sungai. Saat itulah dia bertambah yakin bahwa apa yang
didengarnya sewaktu SD dulu, benar-benar suara harimau.
Menjahit Untuk Biaya Sekolah
Dia
pernah belajar menjahit pakaian selama 6 bulan dan 1 bulan praktik. Skill ini kemudian menjadi pendukung
modal belanja ketika belajar di Tj. Balai. Sampai di sana, dia berjumpa dengan sahabat
ayahnya, Ismail. Karena tahu bagaimana kesulitan ekonominya, Ismail menyiapkan bagian
depan warung yang biasanya digunakan untuk menjual sayur-sayuran, tapi karena
iba diberikan kepadanya untuk tempat menjahit secara gratis.
Dan
setelah beberapa bulan di perantauan, dia mulai mengajar di Madrasah Ibtidaiyah
dan mengajar mengaji. Dia adalah sosok
yang rapi sehingga gurunya mengira dia orang kota, padahal dia orang desa. Ketika dia di Madrasah Tsanawiyah, beberapa
guru sepakat untuk menaikkannya ke kelas dua karena mereka melihatnya sudah
dewasa dan sudah memadai ilmunya. Memang dia rutin mengaji bersama orang-orang
tua, kursus belajar kitab kuning dari Alm. H. Arsyad Haitami yang pernah
belajar di Makkah dan Tok Marzuki tamatan dari Kelantan, Malaysia. Waktu Madrasah
Ibtidaiyah pun, dia sudah hapal 360 bait dari Alfiyah Ibn Malik.
Atas
ilmu agamanya yang kuat, dia diberi kesempatan untuk bersekolah di jenjang Tsanawiyah
pada pagi hari dan jenjang Aliyah, Perguruan Gubahan Islam sekaligus di sore
hari. Sehingga dia menyelesaikan Tsanawiyah dan Aliyah itu dalam empat tahun
saja.
Pada
waktu itu, dia sudah mengajar Tafsir karya Ulama Tiga Serangkai di Perwiridan
Teluk Dalam dan Air Batu bersama bapak Bokar Sinaga, dan begitu juga di Tj.
Balai sudah mengisi pengajian untuk ibu-ibu. Selain itu dia juga sering berkhutbah
di Masjid Al-Iman, SS. Dengki Tanjung Balai.
Setelah
dia tamat dari Aliyah Perguruan Gubahan Islam, dia berhijrah ke Medan. Banyak gurunya
berpesan agar mendaftar ke Universitas Al-Wasliyah (UNIVA) sebab sudah lama
universitas ini menjadi tempat berkumpulnya ulama-ulama di Medan. Tapi dalam
hatinya, dia ingin memilih perguruan tinggi yang bisa membawanya ke luar
negeri. Cita-citanya ingin ke Mesir atau ke Syria.
Dia
mulai mengamati universitas Islam di Medan. Universitas pertama yang dia lihat
adalah UNIVA, ternyata tidak ada peluang untuk ke luar negeri. Lalu dia
menjelajah ke UISU, juga begitu. Dan terakhir dia ke IAIN SU, begitu dia sampai
di pintu Fakultas Syariah waktu itu di Jalan Sutomo, dilihatnya ada pengumuman
syarat-syarat belajar ke luar negeri. Lalu dia putuskan langsung mendaftar. Dia
merasa tidak perlu lagi belajar di Medan karena waktu itu, dia sudah merasa
puas dengan guru-guru tamatan Makkah, seperti Tuan H. Muhammad Thahir dan tamatan
dari Tok Awang Kenali, Kelantan, Malaysia ketika mengaji di Tj. Balai.
Agar Ilmu Berkah
Dari
kecil dia membiasakan memakai kopiah. Dia merasa kalau tidak memakai kopiah,
kurang barakah ilmunya. Jadi dia tidak memakai kopiah hanya ketika ke kamar mandi
dan ketika tidur. Akan tetapi, saat menghapal, wajib baginya memakai kopiah dan
sampai sekarang tradisi kuno ini masih dia lakukan. Sampai masa perkuliahan pun kopiah tidak
pernah lepas dari kepalanya, bahkan waktu SKJ dan apel juga kopiah tetap dipakai.
Sebagai seorang ustaz, dia merasa janggal kalau tidak pakai kopiah.
Di
penghujung semester 2 pada Fakultas Syariah IAIN SU tahun 1975, dia mendapat
kesempatan untuk belajar ke Mesir. Tinggal satu syarat yang belum dia penuhi,
mempersiapkan uang Rp. 350.000 yang digunakan untuk biaya tiket dan paspor. Dia
sempat ciut untuk mengumpulkannya, namun dengan semangat menggebu-gebu dia
membulatkan tekad untuk meminta bantuan kepada para pejabat daerah dan sanak
saudara.
Terlebih
dahulu dia pulang meminta restu kepada orang tuanya. Keluarganya sudah pindah ke
Sungai Sembilang. Malam hari dia memberanikan diri untuk memberitahu ayahnya
tentang niatnya pergi mencari ilmu ke Mesir. Setelah disampaikan, ayahnya
merespon, “Ehm… datang lagi gilanya.
Banyak toke-toke di sini, banyak anaknya yang pintar-pintar, tapi tak ada
anaknya yang pergi ke Mesir malah awak pula yang susah, yang tak sekolah,
anaknya mau pergi ke Mesir. Pintar sekali lah kau. Dari mana duit?” Kemudian,
dia buka secarik kertas dari kantongnya yang bertulis nama-nama pejabat dan
sanak saudara yang akan membantu sekaligus prediksi dana yang mungkin diberikan.
Setelah lontang-lantung mengutip dana, ternyata masih saja kurang. Akhirnya dia
musyawarah dengan orang tuanya lalu orang tuanya yang perempuan menjual pusakanya
keluarga sebagai tambahan. Alhamdulillah, uangnya mencukupi.
Setelah
hampir dua bulan di Mesir, tubuhnya yang
dulu kurus menjadi gemuk. Sebagai bukti senangnya di luar negeri, dia mengirim
foto yang dalam keadaan gemuk tanpa kaos atau pun kemeja supaya terlihat gemuk
kepada orang tuanya dan menggembirakan mereka di Indonesia. Orang tuanya dan
adik-adiknya pun gembira. Mereka menceritakan kegembiraannya itu kepada sanak
saudara dan orang-orang kampung.
Waktu
musim dingin di Mesir pun tiba, saatnya para mahasiswa liburan panjang. Dia
memutuskan untuk berangkat ke Belanda pada tahun 1975. Perjalanannya cukup
jauh. Dia berhutang dengan temannya senilai
U$ 200 untuk membeli tiket. Bukan sekedar menghabiskan liburan dengan jalan-jalan,
tapi ingin bekerja mencari uang.
Keinginannya tercapai, dia diterima bekerja di
sebuah restoran di Denhaag. Kemudian pindah ke Pabrik Acar di Leiden.
Selanjutnya bekerja sebagai waiter
selama dua bulan di Roterdam. Banyak pengalaman yang sulit dilupankan olehnya
saat bekerja di sini. Salah satunya ketika masih jam kerja, dia bergegas salat
Zuhur, namun dilarang oleh bosnya. Alasannya, karena dia sudah dibayar sesuai
jam kerja, jadi tidak sedikit pun waktunya boleh digunakan untuk keperluan lain
termasuk salat. Dia tetap naik ke lantai dua restoran dan salat di sana
walaupun resikonya bisa diberhentikan.
Seiring
waktu berjalan akhirnya bosnya itu memahami kebutuhan ibadahnya. Malah berkat
kejujurannya dan semangatnya bekerja dia mendapatkan posisi khusus dari bosnya,
dipercaya menjadi kasir kalau bosnya pergi ke luar.
Saat
kepulangannya ke Mesir, karena kepercayaan bosnya kepadanya, dia tidak
diizinkan pulang ke Mesir, malah ditawarkan kepadanya restoran yang dapat dia
urusi. Kalau diperhitungkan besar gajinya sudah lumayan juga, tapi tekadnya
bulat untuk menimbah ilmu. Dia pun melanjutkan belajarnya ke Mesir.
Di
Mesir dia memang belum dapat beasiswa. Fakultas Dakwah di Tripoli, Libya
menawarkan dua beasiswa ke KBRI di Kairo. Dia pun mendaftarkan diri, dan
ternyata lulus. Di Tripoli dia memperoleh gelar LC tahun 1980.
Tawaran
pekerjaan pun menghampirinya. Dia pernah mengajar sebagai H.O.D of Arabic and
Islamic Studies pada Ba Muslim College, Fiji Islands selama tiga tahun.
Kemudian mengajar sebagai dosen honor di IAIN Sumatera Utara. Karena LC waktu itu belum diakui setara dengan Drs,
sehingga dia harus kuliah lagi agar diakui sebagai dosen tetap maka diambil lah
Drs DI IAIN SU. Dia pun melanjutkan ke S2 lalu S3 di IAIN Jakarta. Berkat kerja
kerasnya dia menjadi wisudawan terbaik untuk S3 pada tahun 1997.
Ilmu Mengantarkan Kesusksesan
Hobinya
berubah-ubah. Saat masuk Madrasah Ibtidaiyah, dia melihat anak uwaknya menjadi
guru Ibtidaiyah, dia berkeinginan menjadi guru. Saat SD, dia mengamati orang kampungnya
goyang-goyang kaki (menjahit) tapi duitnya lumayan, dia ingin menjahit. Saat
sekolah di Tj. Balai, dia bertemu Gurunya Alm. Naim Sirait yang sempat menimba
ilmu di Siria, dia pun ingin begitu.
Semangatnya
menimba ilmu telah tumbuh sejak kecil. Sejak itu dia mengikuti pengajian orang-orang
tua, membaca kitab Jawi. Pernah satu hari dia dihadapkan pilihan sulit. Kata
gurunya, “Di hadapanmu sekarang ada tiga hal: ilmu, uang atau perempuan. Tidak
boleh kau pilih tiga-tiganya, tidak boleh juga dua. Kalau mau uang bekerja
sekarang; bertani atau berdagang. Kalaupun mau perempuan, sudahlah menikah
sekarang tidak usah belajar lagi karena merusak. Kalau mau ilmu, bulatkanl
tekad, tinggalkan keduanya.” Dia memang
sejak awal ingin memilih ilmu, tapi dia takut kualat. Dia berpikir kalau dia
memilih ilmu, jangan-jangan dia tidak bisa bertahan. Lalu dengan mengucapkan bismillah, dia putuskan memilih ilmu.
Kemudian gurunya itu mendoakannya, “Bismilllahirrahmanirrahim,
Ya Allah berikanlah ilmu anak ini, berkahilah…”
Doa
itu pun seakan terwujud. Ilmunya menjadi berkah, ilmu pula yang membawanya pada
kesuksesan. Dia sempat menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Darul Ulum
Kisaran, (1980-1983), Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN SU dan berbagai perguruan
tinggi di Medan, Pembantu Rektor IV IAIN SU, dan sekarang aktif menjadi dosen
IAIN SU bahkan penguji luar di Universitas Malaya (UMM) dan sekarang aktif di
MUI dan banyak lagi posisi penting yang pernah atau sedang dijabatnya.
Dia adalah sosok penulis, penceramah yang
tegas bahasanyan dan sering pula diundang pada seminar nasional bahkan internasional.
Dia juga senang membaca buku. Di sebelah kediamannya, dibangun sebuah
perpustakaan yang berisi buku-buku koleksinya dari tempo dulu yang ditulis oleh
guru atau ulama-ulama hingga buku-buku yang ditulisnya sendiri. Beberapa
penghargaan telah diraihnya. Satu di antaranya adalah penghargaan sebagai dosen
produktif Depag RI Tahun 2006.
Mencari Pasangan Hidup
Setelah
dua tahun mengajar di Fiji Islands, Lautan Pasific, dia berpikir sudah saatnya
dia mencari pendamping hidup karena usianya juga sudah mencukupi. Tahun 1982,
saat libur selama dua bulan, dia pulang ke Medan.
Sebenarnya
pada saat tinggal di Fiji Island, dia sudah tertarik dengan beberapa gadis
cantik, tetapi dia ingat ibunya sempat berucap bahwa ibunya itu ingin dia
menikah dengan orang Sumatera Utara. Terkadang tergoda juga karena kecantikan
gadis-gadis keturunan Punjabi di Fiji, tapi tetap dipegangnya nasehat ibunya.
Dia berpikir kalaulah dia menikah dengan gadis Fiji, akan sulit bagi ibunya untuk
berkomunikasi karena bahasanya bahasa Inggris. Mereka di sana juga sudah modern
sedangkan di kampungnya belum. Jadi diurungkannya niat untuk menyunting gadis di
Fiji.
Sesampainya
di Medan, hanya satu bulan jadi waktu singkat, dicarilah calon pendamping
hidupnya dengan dibantu oleh Ustaz Dahlan Marpaung, Ustaz T. Amir Husen dan
Ustaz Martab Hudairi. Ada 17 orang yang dia seleksi. Istrinya sekarang, Maymun Aswita Hutasoit
adalah yang pilihan nomor 15. Dalam
memilih pasangan hidup kita perlu yang sederhana saja kemudian hidupnya tidak
terlalu mewah supaya baik komunikasi, menurutnya.
Dia
bersyukur, istrinya sekarang ini memiliki kriteria kesederhanaan seperti yang
dia cari selama ini. Setelah menikah, kehidupan naik turun waktu kuliah S2 dan
S3 DI Jakarta banyaklah kesulitan waktu berangkat ke Jakarta, statusnya masih
calon pegawai (capeg). Yang diandalkannya untuk hidup di Jakarta adalah banyak
menunggu panggilan via telfon untuk mengisi ceramah, Honor ceramah di Jakarta
lumayan. Namun saat Krisis Moneter, tiba-tiba tidak ada lagi panggilan. Hingga
keadaan pun menjadi sulit. Tetapi, keluarga tetap mendukungnya dan setia
menemaninya dalam keadaan sunang atau pun susah. Dia dianugrahi empat orang
anak: Nada Safarina, Nila Husnayati, Hilyah Amalia, dan Zahir Dhiya’fathi.
Saat
ini di keluarganya dia dipandang sosok sukses dan menjadi harapan. Semua dilakukannya
dengan senang hati berkat dukungan dari sang istri.
IAIN SU, Go Internasional!
Berbicara
tentang IAIN SU, dia pun punya segudang ide untuk kemajuan IAIN SU. Dia optimis
IAIN SU bisa go internasional. Maka diperlukan
langkah-langkah untuk mewujudkannya. Yang pertama adalah penguasaan bahasa,
yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris. Oleh karena itu, saat periodenya menjadi
Dekan di Fakultas Ushuluddin dua periode, dia membuat kelas Internasional,
Tafsir Hadits Internasional. Nah, sekarang ini penerapannya menjadi
sayup-sayup. Jadi, cita-citanya itu tak terwujudkan karena tongkat estafet yang
belum berjalan. Bahasa Inggris dan Bahasa Arab harus dikuasai oleh mahasiswa
IAIN SU. Sebaiknya ada ekstra kelas
berupa diskusi bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Yang
kedua adalah menanamkan segi keulamaan. Dia bercita-cita bahwa IAIN SU dapat
mencetak kader-kader yang berwawasan dan berkepribadian baik. Mahasiswa harus
ditekan untuk menguasai secara mendalam ilmu-ilmu agama seperti: fikih, tauhid,
dan usul fikih. Karena itulah modal ulama.
Kemudian
yang ketiga adalah meningkatkan wawasan internasional. Civitas IAIN SU harus
menguasai keadaan pendidikan di 22 negara Arab. Tidak hanya lini pendidikannya,
tetapi kebudayaannya, ekonominya dan politiknya. Membuat lembaga pusat studi
Timur Tengah itulah dulu cita-citanya. Dengan begitu informasi tentang Timur Tengah
berpusat di Pusat Studi Timur Tengah tersebut. Dan dia dulu berkali-kali
mengajukan agar dibuat laboraturium Tafsir Hadits, tapi sampai sekarang belum
terwujud.
Semua dosen, doktor, dan profesor mesti bisa
ceramah bahasa Inggris dan bahasa Arab. Jadi, suasana internasional harus
diciptakan di IAIN SU. Dia juga mengusulkan harus dibudayakan bedah buku di
setiap fakultas sekali seminggu.
Aspek
lainnya, yakni pimpinan itu benar-benar harus fokus. Fokus untuk memajukan IAIN
SU. Ketekunan, keseriusan, dan tidak berorientasi materi juga wajib terpatri di
lingkungan pejabat IAIN SU. Makanya motto hidup saya “Bekerja Keras Demi
Mencari Rida Tuhan.”
Dan
yang terakhir, dia melihat kelangkaan ulama saat sekarang ini. Kaum muda
sedikit sekali yang tertarik menjadi ulama menurutnya. Dia pun turun tangan
untuk mengkader kaum muda agar menjadi ulama yang meneruskan perjuangan para
ulama terdahulu. Beberapa orang yang dikadernya sudah mampu berdakwah dengan
baik. Dia pun berharap IAIN SU, mampu mencetak ulama-ulama muda yang bias
menjadi panutan umat.
Terobosan-terobosan
baru mutlak dibutuhkan untuk memajukan IAIN SU. Dengan begitu, IAIN SU dapat
mengejar ketertinggalannya. Dia merasa usaha sudah digalakkan, seperti pengiriman
dosen-dosen ke luar negeri untuk mendapatkan perbandingan yang baik untuk
diterapkan. Program ini juga bertujuan untuk merubah mind set civitas IAIN SU supaya lebih open minded terhadap kemajuan zaman dan lebih berbenah diri dalam
menyongsong perubahan status IAIN SU menjadi IAIN SU.
Beliau juga pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Sumatera Utara
BalasHapus