Agama Saya Cinta Damai
Lagi, syariat agama dijadikan tameng untuk melanggar hak-hak kemanusian tanpa memahami kewajiban yang harus ditempuh lebih awal. Tindak kekerasan semisalnya.
Tercorengkah agama saat si penganut mencemarkan kefitrahannya? Jelas tidak. Setiap agama pada hakikatnya mencintai kata sakral ini: 'Kedamaian'. Kembali lagi kepada sipenganutnya yang memahami syariatnya dalam arti sempit.
Menulusuri siapa yang salah dan siapa yang benar akan menjadi perkara mudah saat kita menjauhkan asumsi bahwa agama ikut campur dalam masalah ini. Sekali lagi, atas keterbatasan manusia, sangat besar memungkinkan menyalahinya.
Sebenarnya penganut agama tidak usah membawa nama agama saat masalah yang universal menguak. Tapi bagaimana jika masalah itu menyangkut tentang keagaman. Jelas solusinya akan didapatkan dari syariat agama tersebut. Malah hukum negara juga harus mempertimbangkannya dengan agama yang bersangkutan.
Baru-baru ini penganut Ahmadiyah yang mengaku Islam tetapi dengan nabi yang berbeda, Mirza Gulam Ahmad, terusik kembali dengan penganut Islam yang sebenarnya. Tindakan ini memang wajar. Karena kaum Ahmadiyah menyalahi aturan Islam yang jelas mempercayai Muhammad sebagai nabi terakhir. Bukankah lebih baik kaum Ahmadiyah melepas embel-embel Islam saat mereka ingin dipandang benar dengan melanggar syariat Islam.
Aksi keras ini patut diberikan kepada kaum Ahmadiyah karena mereka secara tidak langsung mencoreng agama Islam.
Pemerintah dengan undang-undangnya juga seharusnya menghukum orang-orang yang melanggar hukum. Indonesia negara yang membebaskan untuk menganut agama. Tapi dengan syarat agama itu adalah agama yang sudah disahkan (islam, katolik, protestan, hindu, dan budha). Tidak hanya sekedar nama dari agama tersebut tapi syariatnya juga harus sama dengan syariat agama yang hakiki. Kalau tidak, artinya bukan agama yang dimaksud walau mereka mengaku beragama yang disahkan di Indonesia seperti Ahmadiyah yang mengaku Islam.
Kita bisa mengilustrasikan, seorang pembohong mengaku adalah sanak saudara kita-padahal bukan. Reaksi kita pada awalnya terkejut kemudian menasehati. Jika tidak bisa, kita pasti bertindak tegas. Begitu pula reaksi umat Islam menindak keras pembubaran Ahmadiyah karena berdampak buruk terhadap Islam.
HAM menjadi penghalang. Malah pembenar bisa menjadi salah ketika HAM disalah artikan. Apalagi terhadap pihak yang ingin memprovokasi untuk mengeruhkan suasana. Terkadang hukum juga salah saat HAM yang salah diartikan diumbar-umbar. Ingatlah, agama juga mengajarkan tentang HAM yang lebih mutlak kebenarannya. Tindakan terhadap Ahmadiyah harus dipertegas agar masalah ini menjadi jernih. Sekali lagi bukan dengan anarki tetapi dengan jalan damai.
Note: Saya menulis tulisan ini karena keprihatinan terhadap pihak yang memperkeruh keadaan dengan menyalahkan si pembenar.
Tercorengkah agama saat si penganut mencemarkan kefitrahannya? Jelas tidak. Setiap agama pada hakikatnya mencintai kata sakral ini: 'Kedamaian'. Kembali lagi kepada sipenganutnya yang memahami syariatnya dalam arti sempit.
Menulusuri siapa yang salah dan siapa yang benar akan menjadi perkara mudah saat kita menjauhkan asumsi bahwa agama ikut campur dalam masalah ini. Sekali lagi, atas keterbatasan manusia, sangat besar memungkinkan menyalahinya.
Sebenarnya penganut agama tidak usah membawa nama agama saat masalah yang universal menguak. Tapi bagaimana jika masalah itu menyangkut tentang keagaman. Jelas solusinya akan didapatkan dari syariat agama tersebut. Malah hukum negara juga harus mempertimbangkannya dengan agama yang bersangkutan.
Baru-baru ini penganut Ahmadiyah yang mengaku Islam tetapi dengan nabi yang berbeda, Mirza Gulam Ahmad, terusik kembali dengan penganut Islam yang sebenarnya. Tindakan ini memang wajar. Karena kaum Ahmadiyah menyalahi aturan Islam yang jelas mempercayai Muhammad sebagai nabi terakhir. Bukankah lebih baik kaum Ahmadiyah melepas embel-embel Islam saat mereka ingin dipandang benar dengan melanggar syariat Islam.
Aksi keras ini patut diberikan kepada kaum Ahmadiyah karena mereka secara tidak langsung mencoreng agama Islam.
Pemerintah dengan undang-undangnya juga seharusnya menghukum orang-orang yang melanggar hukum. Indonesia negara yang membebaskan untuk menganut agama. Tapi dengan syarat agama itu adalah agama yang sudah disahkan (islam, katolik, protestan, hindu, dan budha). Tidak hanya sekedar nama dari agama tersebut tapi syariatnya juga harus sama dengan syariat agama yang hakiki. Kalau tidak, artinya bukan agama yang dimaksud walau mereka mengaku beragama yang disahkan di Indonesia seperti Ahmadiyah yang mengaku Islam.
Kita bisa mengilustrasikan, seorang pembohong mengaku adalah sanak saudara kita-padahal bukan. Reaksi kita pada awalnya terkejut kemudian menasehati. Jika tidak bisa, kita pasti bertindak tegas. Begitu pula reaksi umat Islam menindak keras pembubaran Ahmadiyah karena berdampak buruk terhadap Islam.
HAM menjadi penghalang. Malah pembenar bisa menjadi salah ketika HAM disalah artikan. Apalagi terhadap pihak yang ingin memprovokasi untuk mengeruhkan suasana. Terkadang hukum juga salah saat HAM yang salah diartikan diumbar-umbar. Ingatlah, agama juga mengajarkan tentang HAM yang lebih mutlak kebenarannya. Tindakan terhadap Ahmadiyah harus dipertegas agar masalah ini menjadi jernih. Sekali lagi bukan dengan anarki tetapi dengan jalan damai.
Note: Saya menulis tulisan ini karena keprihatinan terhadap pihak yang memperkeruh keadaan dengan menyalahkan si pembenar.
Komentar
Posting Komentar