Aku, Saskia, dan Anak-Anak Korban Banjir Bandang
Aku
terus menapaki jembatan sungai Bahorok. Menapaki
tanah-tanah pinggiran lereng gunung Leuser seorang diri. Hari ini, Bahorok
begitu riak dan suasana di sekitar begitu memesona. Udaranya segar sekali
karena pagi tadi hujan membasahi tetumbuhan sekitar.
Aku terus menelusuri jalanan setapak
menuju Bad Cave sambil melekatkan earphone
di daun telingaku. Setahun yang lalu aku menelusuri gua yang penduduk setempat
menyebutnya Gua Kampret ini bersama rombongan pecinta alam. Kaki gunung Leuser
memang dikelilingi banyak gua. Jarak dari penginapan Bukit Lawang juga tidak
terlalu jauh.
Sesekali aku menghentikan langkah, mengingat-ingat
jalur jalanan setapak menuju Bad Cave. Di tengah perjalanan itu, berulang kali
kupotret tetumbuhan yang baru pertama kali kulihat dan hewan-hewan yang
bersuara seolah mengiringi perjalananku. Aku suka melipir. Dengan melipir
seperti ini aku lebih leluasa menikmati suasana, bebas melakukan apapun yang
kusuka.
Sial,
aku tak ingat lagi jalur menuju Bad Cave. Sekarang aku berada di tengah
pepohonan rambung yang rapat-rapat. Di hadapanku ada tiga buah cabang jalan,
papan petunjuk jalan juga tak kelihatan. Naas. Dengan menggantung harapan, aku
memutar arah.
Dari
kejauhan terdengar suara motor yang terus mendekatiku. Aku berhenti. Saat akan
melintas, aku melambaikan tangan. Seketika motor itu berhenti.
“Bang, aku mau ke Bad Cave. Lewat mana ya?”
“Kebetulan aku juga mau ke sana. Ayo naik.”
Pengendara
yang tak sempat kutanya namanya itu menawarkan tumpangan. Ternyata dia adalah
pemandu wisata gua. Katanya 1 kilometer lagi kami akan sampai ke tujuan kami.
Sembari roda terus berputar di tanah yang berliuk-liuk, aku bertanya ini-itu
pada pengendara motor itu.
Di
tengah perjalanan, aku melintasi sebuah rumah bercat nyentrik terpisah dengan
rumah masyarakat lainnya. Bangunannya terdiri dari empat gedung. Tiga berderet,
dan satu yang seperti warung berada terpisah di seberang jalan yang kami
lintasi. Aku spontan bertanya.
“Bang, ini rumah siapa ya?”
“Itu rumahnya bang Joko. Rumah itu dijadikan panti
asuhan anak-anak korban banjir bandang 5 tahun yang lalu.”
Laju motor tersebut pun melambat.
“Aku berhenti di sini aja bang.”
“Loh, kenapa?”
“Nggak apa-apa.”
Pengendara itu memberhentikan
motornya tidak jauh dari rumah itu. Setelah mengucapkan terimakasih. Aku
bergegas menyambangi rumah itu. Rasa penasaranku menjadi-jadi sampai kuurungkan
tujuan utamaku. Kok bisa ya ada panti
asuhan yang ada di pinggiran lereng gunung seperti ini, pikirku.
Dari
luar pagar, kulihat dua orang anak sedang mengukir batok kelapa. Sepertinya
mereka sedang membuat souvenir. Lalu, di gedung yang lain kulihat seorang
wanita bule sedang bermain laptop dengan anak perempuan. Sayang, dihadapanku
sekarang terpampang “Wilayah Pribadi, Dilarang Masuk Tanpa Izin.” Jarak kami
agak jauh, aku berinisiatif untuk menyapa dengan suara keras.
“Excuse me,
excuse meee...”
Wanita dan gadis kecil itu
melihatku. Mereka menutup laptop yang mereka gunakan kemudian pergi kea rah
pagar depan, tempatku berada.
“Excuse me
miss. May I enter miss?” tanyaku penasaran.
“Oh, sorry,
it’s private.” Wanita itu menolak dengan senyum kecil.
“But…”
Belum aku selesai mengutarakan
maksudku, dia lalu menimpali.
“If you wanna
know about this orphanage, we can talk in there,” ucapnya sembari menunjuk
warung di seberang jalan.
“Ough… thank
you.”
Atmosfer berbeda kurasakan setelah
bertemu wanita bule yang ramah itu. Cuaca yang terik jadi adem di tempat itu.
Mungkin karena banyak pepohonan yang ditanam di sekeliling gedung. Atau mungkin
pula karena kedamaian yang mengubahnya. Suasana di tempat itu sungguh nyaman.
Aku memilih bangku kayu di pojok
warung. Dari tempat ini aku dapat menikmati kolam kecil yang dipenuhi ikan
koki, dan beberapa ternak yang dikandangi. Wanita bule itu menyodorkan sebotol
air mineral di atas meja.
“Minumlah.”
“Terimakasih.”
Obrolan kami cukup panjang. Nama
wanita berumur 40-an lebih ini adalah Saskia Landman. Dia seorang perantau dari
negeri Belanda yang mendedikasikan dirinya untuk menolong anak-anak korban
banjir bandang di Bahorok tahun 2003 silam. Sudah hampir sepuluh tahun dia
merawat anak-anak yatim piatu. Akibat banjir bandang tersebut banyak masyarakat
yang terbawa arus, ada yang mayatnya diketemukan, namun banyak pula yang tidak.
Sekarang, Saskia sudah memiliki
seorang suami dari penduduk setempat, Joko namanya. Dialah orang yang mendukung
perjuangan Saskia menyokong kehidupan dan membiayai pendidikan anak-anak panti.
Mereka menganggap anak-anak panti sebagai anak sendiri. Dahulu jumlah anak
panti berjumlah empat puluhan, sekarang tinggal dua puluh tujuh. Setelah mereka
menamantkan SMA, mereka sudah mampu berdiri.
“Saya mengajarkan
mereka untuk mandiri. Mengajarkan mereka bahasa Inggris, keterampilan membuat souvenir, berdagang di warung ini. Saya
rasa keterampilan itu akan menjadi bekal bagi mereka.” Mata Saskia menerawang
jauh menunjukkan harapannya sangat tinggi untuk masa depan anak-anak panti.
Sebagai perantau, Saskia juga bukan
mengharapkan gaji atau upah atas pekerjaannya, malah dengan bantuan keluarganya
di Belanda dan wirausahanya sendiri dia mampu membangun panti ini. Pemerintah
Indonesia sendiri tidak pernah memberi perhatian terhadap panti itu. Bagaimana
bisa seorang perantau dari Belanda punya hati sedermawan itu?
“Bagi saya, kebahagiaan
mereka adalah kebahagian saya,” ujarnya tersenyum.
“Wuah… saya salut
dengan mom.” Aku membalas senyumnya.
Aku juga sempat mengobrol dengan
tiga orang anak panti. Mereka sangat lancar berbahasa Inggris. Aku saja calon
sarjana jurusan pendidikan bahasa Inggris minder. Mereka benar-benar terampil, souvenir yang mereka buat juga
cantik-cantik terpajang di dinding warung. Satu di antara mereka bercita-cita
serupa denganku, ingin menjadi guru bahasa Inggris. Kata mereka, mereka
mendapatkan keluarga baru di tempat ini.
Obrolan panjang ini harus
berakhir, sebentar lagi aku harus kembali ke Medan. Aku berpamitan, mereka
mengantarkan kepulanganku dengan hangat. “Feel
welcome to come here later.” Kalimat ini yang terlontar dari bibir Saskia.
Aku melambaikan tangan, kemudian dibalas Saskia dan anak-anak panti serempak.
Aku melangkahkan kakiku lagi. Pikiranku
tentang perantau yang mengharapkan sesuap nasi di negeri orang itu tidak selalu
benar, Saskia buktinya. Sebagai perantau, dia mampu menyambugkan hidup para
anak-anak panti. Benar-benar inspiratif.
mantab rom, kreatif
BalasHapusMas ada no hp saskia atau suami nya tidak,,saya teman lama nya yg putus kontak,,kalau ada bisa di wa ke no saya081260327540
BalasHapus