Penakluk Ombak



Aku meyakini, sejauh kaki ini melangkah, sejauh itu pula aku  memaknai hidup ini. Karena di setiap langkah kaki itu, aku menemukan sosok-sosok yang penuh pengalaman inspiratif. Pengalaman mereka yang mengajariku memahami hidup ini, yang begitu berarti.
Kepalaku benar-benar puyeng. Perutku pun ikut mual. Badanku terasa bergoncang-goncang. Bukan karena masuk angin atau prustasi setelah putus cinta, tapi karena aku berada di atas kapal kayu yang sedang bertarung dengan ombak di tengah Selat Malaka.
Kalau harus memilih mendingan mendaki gunung Sinabung ketimbang mengarungi lautan dengan kapal kayu yang kuragukan kekuatannya. Mungkin karena baru pertama kali tergoncang-goncang di atas kapal dengan durasi selama ini, hampir dua jam. Meskipun situasi mabuk laut, aku dan teman-temanku tetap menikmati perjalanan menuju Pulau Berhala.
Saat di perjalanan, aku tak mau mengasihani tubuh seperti teman-temanku; tidur bertendakan terpal. Aku memisahkan diri dari mereka, menuju ke bagian belakang, tempat nahkoda mengarahkan kemudi. Kemudian aku duduk di samping nahkoda kapal. Nahkoda tersebut tersenyum. Aku juga.
Sambil serius mengemudi, nahkoda tersebut mengajakku ngobrol. Saat itulah awal aku mengenal Pak Edi, nahkoda kapal yang akan mengantarkan kami ke pulau yang masih jarang penduduk itu. Pak Edi itu sosok yang ramah, suka bercerita. Walaupun usianya tak lagi muda, ia masih gigih menaklukkan ombak di laut lepas. Katanya, hidup di laut itu lebih menyenangkan ketimbang di darat. Ia berpikiran seperti itu karena sejak bocah ingusan ia sudah diajak orang tuanya mencari ikan untuk di jual ke tengkulak. Sejak itu Pak Edi kecil mulai membiayai sekolah sendiri.
Pak Edi kembali mengamati benda bundar berisi jarum yang bergerak-gerak di bawah kemudinya. Mataku pun tertuju pada benda itu.
“Ini namanya kompas,” kata Pak Edi setelah melihat raut wajahku yang bingung.
Ooo… itu kompas Pak? Gimana cara gunainnya?” Aku kembali merautkan kebingungan.
“Tinggal tengok arah jarum. Kalo N itu Utara, S itu Selatan, W itu Barat, E itu Timur. Sekarang kita menuju ke arah Timur.”
Lalu kutimpali dengan candaan, “Ooo… nggak pernah nyasar dong ya Pak?”
Edi tertawa sebentar, “Pernah, beberapa kali.”
Kami tertawa lepas.
Pak Edi bersuku Melayu. Di Sumatera Utara, suku Melayu kebanyakan nelayan. Sejak kecil dia sudah tinggal di Bedagai, sebuah pelabuhan yang didiami banyak nelayan. Rumahnya pun  berada di pinggir sungai yang berbatasan dengan laut Bedagai.
Pak Edi bercerita tentang keluarganya. Istrinya membuka warung di rumah, anak sulungnya sudah bekerja di rumah sakit dan si bungsu sedang berkuliah. Ia sering merindukan keluarganya kalau sedang melaut berminggu-minggu.
Soal keahlian menaklukkan laut, ayahnya sendiri yang mengajarkannya. Laut yang seperti lahan subur bagi petani. Laut itu bak peti harta karun.  Mereka sering menyebut ikan adalah harta karun seperti logam emas.
“Sayangnya Romi, laut sekarang berbeda jauh. Dulu cuaca dapat ditebak, jadi nelayan dapat mengatur kapan dia harus melaut. Ini punya pengaruh untuk kami yang mengantungkan hidup dari hasil laut. Sekarang, cuaca payah ditebak.”
Aku terus khidmat mendengar cerita Pak Edi. Kemudian dia menambahkan lagi.
“Tapi bapak masih menganggap laut itu tempat harta karun bersembunyi.”
Pak Edi menoleh ke arahku. Aku mengangguk tanda setuju. Lalu Pak Edi  menggeser kemudi sedikit ke arah kanan.
            “Tengok itu Rom, Pulau Berhala sudah nampak.”
            “Pulau kecil itu pak? Lama lagi dong kita sampai, masih jauh banget.”
            “Ya, sekitar sejam lagi lah.”
            Matahari pun mulai bersembunyi di balik lautan. Sesekali burung camar terbang melewati kapal kami dengan anggun sembari bersiul. Biasanya aku menikmati sunset di tepi pantai, sekarang, aku menikmatinya di tengah laut. Kesannya lebih mempesona. Aku terpukau sejenak melihat mega-mega langit yang membuat lautan berwarna senja. Tanpa kusadari Pak Edi menguntai senyum kecil setelah memandangku.
            “Romi tau kenapa bapak suka di laut?”
            Mmm… kenapa pak?”
            “Saat berada di laut bapak selalu terhibur, terhibur dengan pesona alam.”
            Berulangkali aku mengiyakan ucapan Pak Edi karena aku merasakan hal serupa. Kini saatnya melanjutkan menatapi matahari yang semakin lenyap dimakan laut.
            Akhirnya kami sampai di salah satu pulau terluar Indonesia, Pulau Berhala. Pak Edi menurunkan jangkar di pinggir dermaga. Kemudian mengikat tali yang terikat di tiang kapal ke pacak batu dermaga. Sudah ada dua kapal yang mengantar turis di sebelah kapal kami.
Kami melangkahkan kaki ke pasir. Rasanya sudah lama tak mencium gurihnya pasir laut. Namun, pasir itu malah seperti lautan yang berombak, efek lima jam terombang-ambing di laut.  
***
            Malam hari di tengah laut itu mencekam. Ombak tak habis-habisnya menghantam karang-karang. Angin tak lagi sepoi, ia telah berubah kencang. Aku mendekatkan telapak tanganku dengan api unggun yang  dinyalakan Pak Edi. Cukuplah mengusir dinginnya malam.
            Pak Edi mengajakku ke ujung dermaga untuk mengecek ikatan tali kapal. Semakin banyak kapal yang berdempetan di sana. Para nahkoda dan awak-awaknya ternyata sedang berpesta. Mereka mengajak kami ikut bergabung. Kami meloncat dari satu kapal ke kapal yang saling berdempetan. Kapal-kapal itu seakan berdansa dengan ombak yang semakin besar saja saat kami berada di atasnya.
            Menu mereka menggugah seleraku. Ada ikan bakar, cumi bakar plus nasi dan kecap yang dicampur rajangan cabe rawit. Perutku berbunyi keras. Pak Edi mendengarnya, lalu ia mengajakku untuk menyantap hidangan itu bersama puluhan awak kapal.
“Beginilah makanan kami kalo melaut Rom. Makan ala kadarnya. Yang penting kenyang,” kata Pak Edi sembari menyuil daging ikan bakar di hadapan kami.
“Kalo ini pak, nggak alakadarnya loh pak. Kalo di Medan, sea food harganya pasti mahal,” bantahku santun.
            Kami melanjutkan menyantap makanan sambil sesekali bercerita pengalaman masing-masing. Aku banyak belajar dari para penakluk lautan seperti mereka. Kesederhanaan mereka yang membuatku kagum. Yang pasti di kapal ini, tidak ada pembahasan politik, tidak ada korupsi, tidak juga cek-cok pejabat publik. Semua soal pengalaman hidup yang sederhana, ya sederhana.
            Dari perbincangan mereka, aku baru tahu kalau beberapa dari mereka sedang melaut berminggu-minggu. Asal mereka pun berbeda-beda, dari Bedagai, Batubara, sampai Belawan. Ternyata mereka tidak saling mengenal satu sama lain, namun mereka sudah sangat akrab. Saat kutanyakan soal itu kepada mereka, Pak Edi menjawab kalau setiap nelayan itu satu keluarga, satu atap, yaitu langit laut. Saling membantu satu sama lain.
“Pernah kapal seorang nelayan karam saat masuk laut karena arus muara dan ombak laut saling beradu. Bapak di situ, jadi bapak bantu. Banyak juga dia bawa penumpang mau ke Berhala ini.”
Aku tercengang sebentar sambil mengharapi kejadian itu tak terjadi pada kami.
“Nggak ada korban kan pak?”
“Syukurlah cepat bapak tolong Rom.”
            Sebenarnya sejak awal perjalanan tadi selain takut mabuk laut, aku mengkhawatirkan keselamatanku sendiri karena di kapal kami hanya ada satu buah pelampung, sedangkan kami berjumlah 23 orang. Kalau naas kapal kami karam, tentu pelampung itu akan jadi rebutan.
“Kapal bapak-bapak semua pernah karam?”
“Aku sempat sekali. Tapi untunglah masih di pinggir. Udah tua pula kapal itu. Peninggalan orang tua dulu,” jawab seorang bapak berbadan gempul.
“Namanya di laut dek, apa pun bisa terjadi. Kita pasrah lah sama yang di atas. Kalo takut, tak makan juga kita,” kata bapak yang memiliki kulit hitam legam.
            Berbincang-bincang dengan para nelayan sungguh sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Sayangnya malam telah larut, mataku sudah tak bisa diajak kompromi. Akhirnya, aku putuskan untuk kembali ke pondok untuk tidur. Para nelayan itu masih saling bercengkrama, sesekali suara keras mereka samar-samar terdengar dibawa angin laut. Dan suara burung-burung malam yang syahdu bak nyanyian penghantar tidur. Lalu aku pulas.
***
Matahari yang kemarin lenyap, kini malu-malu menampakkan diri. Udara masih saja dingin. Dengan wajah kusut, aku bergegas menuju dermaga. Aku sudah tidak sabar melanjutkan cerita semalam.
Sesampainya di dermaga, aku melihat puluhan nelayan sedang memancing ikan-ikan karang. Aku suka memancing. Tapi, tekhnik memancing mereka itu berbeda. Mereka memancing tanpa menggunakan joran, hanya seutas benang yang ujungnya diikat dengan timah pemberat dan kail yang disangkuti udang dan cumi potong. Agar ikan-ikan berkumpul, mereka menaburi nasi sisa makan malam semalam ke laut yang berwarna hijau kebiru-biruan.
Aku mendekati Pak Edi. Ia mengajarkan cara memancing ikan karang. Kemudian dia memberikan pancingnya kepadaku. Kusangkutkan umpan udang potong. Kulihat di permukaan laut, ikan-ikan sudah bergerombol. Aku pikir, akan berhasil mendapatkan salah satu diantaranya, sayangnya setelah beberapa lama aku menunggu, kemudian umpan disambar ikan tapi tak berhasil kupancing, lalu kusangkutakan umpan lagi, tapi hasilnya tetap saja nihil. I give up.
“Ampun deh pak. Kenapa sulit ya pak?”
“Nggak sulit sebenarnya Rom. Belum biasa itu,” jawab Pak Edi menyemangatiku.
“Padahal ikannya udah kelihatan, tapi nggak juga terpancing.”
“Begitulah Rom, yang sudah di hadapan matapun, terkadang kalo bukan rezeki kita, tak bisa kita dapat.”
Akhirnya, aku hanya menjadi penonton para nelayan yang berhasil mendapatkan ikan. Saat sedang asyik-asyiknya mengumpulkan ikan yang terpancing, suara peluit berbunyi menandakan rombongan harus berkumpul. Rencamanya, kami akan ber-snorkling ria sebelum matahari hangat-hangatnya.
***
Tidak terasa waktu sudah tengah hari. Kami harus bergegas pulang kalau tidak ombak akan semakin ganas saja. Di tengah terik yang menyeka tenggorokan, kami kembali mengarungi Selat Malaka.
Di atas kapal, aku kembali duduk di samping Pak Edi. Ia begitu gagah mengarungi lautan. Sesekali ia bernyanyi dendang malayu, begitu syahdu. Di tengah dendangan itu, ia menyodorkan kemudi kapal. Pak Edi ingin aku menjejali mengemudi kapalnya. Dia memberikan instruksi supaya terus mengikuti arah Barat di kompas sebagai patokan.
Ombak di tengah laut siang itu cukup besar, aku memberikan kemudi kepada Pak Edi, tapi ia malah memanggil awaknya untuk melanjutkan mengatur kemudi.
“Rom, tadi bapak dikasih ikan Koti sama Kepiting. Yok kita masak. Udah lapar kau bapak tengok.”
“Dimana masaknya pak?”
“Di situ,” jawab Pak Edi sambil menunjuk ke arah belakang kapal.
            Kami membakar ikan Koti, yang sejenis ikan Pari dengan ukuran mungil dan merebus kepiting. Kami menyantapnya bersama-sama. Dalam sekejap semua habis, yang tersisa hanya tulang-tulang ikan Koti dan cangkang Kepiting. Masak dan Makan siang di tengah laut, baru kali ini aku merasakannya.
            Kulihat ke permukaan laut, ubur-ubur sedang berkumpul seolah menari-nari di atas laut, beratraksi mengantarkan kepulangan kami. Kemudian Pak Edi mengatakan sesuatu yang masih terus kuingat sampai sekarang.
“Laut itu seperti rumah, seperti panggung hiburan, seperti peti harta karun. Di sini kita dapat merenung betapa Tuhan telah menanugrahkan kita rezeki berlimpah. Tugas kita adalah menjaganya. Kelak Romi akan merindukan laut ini.”








Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR ISLAM DI NEGERI NONMUSLIM (Biografi Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A.)

Jejak Sukses Pecinta Buku (Biografi Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, M.A.)

Keliling Pulau Samosir dengan Bus Mini