NII Goes to Campus

Anda sering mendengar sebuah seminar, workshop, maupun pelatihan bertemakan Goes to Campus, semisal salah satu tema roadshow dari stasiun TV swasta Indonesia? Kini zamannya Negara Islam Indosesia (NII) Goes to Campus.

Memasuki Babak Masuk Kampus

Doktrin NII meresahkan segelintir orang tua. Para ibu terpengaruh oleh gembar-gembor pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika tentang gerakan NII. Pembicaraan kaum ibu yang kerap disebut gosip berubah haluan, dari gosip selebritis menjadi obrolan NII. Resahnya para ibu rumah tangga disebabkan pemberitaan keberadaan NII terutama NII KW IX yang tengah menjelajahi sejumlah kampus ternama di Indonesia, khususnya kampus yang berlabel Islam.

Pengkader NII sangat bernafsu dengan mahasiswa Islam yang menjadi target potensial. Mengapa demikian? Jawabnya, tiada lain adalah dikarenakan mental mahasiswa yang relatif labil dan sering menggebu-gebu dalam menyerap syariat Islam, namun tidak punya akar pemikiran yang kokoh. Bisa diibaratkan mahasiswa Islam pada umumnya memiliki pemikiran mengambang; mencoba berfalsafah religi, namun tak sampai pada tahap pemikiran radikal (mendalami masalah). Kedangkalan pemikiran inilah yang menjadi cerobong masuknya doktrin NII kepada mahasiswa Islam.

Sejauh ini, beberapa kampus Islam sudah kecolongan pengkader NII. Universitas Muhamadiyah Malang contohnya. Bulan lalu, sepuluh mahasiswa UMM dikabarkan menghilang bersamaan maraknya kasus brainwashing oleh pengkader NII. Salah satu dari kesepuluh mahasiswa tersebut yakni Makhatir Rizki. Mereka diduga telah direkrut sebagai anggota.
Tak hanya mahasiswa yang menjadi korban, ternyata dosen juga menjadi sasaran. Gembong mafia relgius pun menilik dosen untuk membantu ekspansi NII ke dunia kampus melalui sisipan doktrin ideologi mereka. Kasus ini terjadi di Universitas Brawijaya Jawa Timur. Sang rektor, Yogi Sugito mengindikasi segelintir dosen di UNBAR juga menjadi anggota NII. Ironinya, pergerakan NII seakan dibiarkan berekspansi sejak tahun 1990 di UNBAR.

Dari analis dua kampus ternama di atas, ternyata sporadisasi masuknya NII ke kampus bukan cuma kabar angin belaka. Dan, barangkali kampus Islam kita, IAIN SU juga terkena imbasnya. Sejauh ini sudah ada tindakan prefentif dari pihak kepemerintahan kampus seperti talkshow yang mengupas tuntas ideologi sesat NII. Akan tetapi, bisa saja para pengkader NII telah masuk perlahan memberikan suntikan doktrin ganjil ala NII. Modus ini kerap dilakukan oleh pengkader NII, perlahan-lahan namun pasti; mula-mula mengajarkan ajaran agama Islam sesuai hakikatnya, lama-kelamaan setelah kepercayaan mental korban dikuasai, para pengkader tak sungkan-sungkan mencekoki calon korbannya dengan konteks labelisasi salah terhadap kepemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam agama. Karena bagi mereka konsep khilafah adalah segalanya dan yang paling menyorot perhatian ternyata syariat Islam telah banyak disesatkan mereka demi nafsu matrealistis belaka. Penebusan dosa pelanggaran rukun islam, misalnya, dapat ditebus hanya dengan lembaran uang.

Sekelumit anomali NII tidak cukup sampai disitu, setelah korban yang kebanyakan mahasiswa diperdaya, dikuras hartanya, lalu dibuang begitu saja. Dalih membuat negara Islam hanya hijab belaka untuk menutupi kemaksiatan yang dilakukan gerakan NII. Benar, jika dalam ajaran Islam dianjurkan menggunakan koteks kepemerintahan tetapi tetap menjunjung tinggi toleransi dan perdamaian umat beragama.

Mencegah Cekokan Doktrin Sindikat Keagamaan

Menyoroti kronologis peristiwa miris di atas, tampaknya pemerintah tidak serta-merta tanggap akan peristiwa tersebut dan malah cenderung pasif memberantasnya. Dalih ini masih dianggap enteng oleh beberap oknum pemerintah. Penuturan mengecewakan datang dari Mentri Polhukam, Djoko Suyanto menyatakan gerakan NII tidak cukup kuat untuk menimbulkan ancaman yang signifikan bagi NKRI (lihat, tempointeraktif.com, 14/5/2011). Faktanya, mahasiswa korban NII mengalami guncangan mental yang memprihatinkan. Dampak traumatik ini membutuhkan rehabilitasi yang memakan tempo cukup lama.

Langkah prefentif dalam mencegah doktrin NII yang merusak mental bangsa adalah dengan mengokohkan pemikiran keagamaan dan kebangsaan. Dalam tahap pencegahan ini, mahasiswa diajak berorientasi terhadap nilai-nilai dasar Islam secara berkala. Dengan mengetahui nilai dasar keagamaan dari dasar, mahasiswa mengokohkan pikiran terhadap Islam sebelum jauh melangkah ke hal rumit lainnya hingga kecenderungan menyimpang dari jalur syariat Islam terminimalisir.
Selanjutnya, menumbuhkan rasa cinta terhadap NKRI patut kita ciptakan sedini mungkin. Kebanyakan kasus teror-meneror yang diprakarsai oleh gerakan separatis dan semacamnya berawal dari wujud kebencian mereka terhadap negaranya sendiri. Ini dampak dari ketidaksamarataan pihak pemerintah menyejahterakan rakyatnya atau faktor historis yang melucuti rasa cinta mereka. Dalam penerapan ini pendekatan brainstorming yang melibatkan pemikiran kritis dan pendekatan filosofis yang radikal, universal, sistematis dan rasional berperan dalam memahami lanskap keislaman. Sehingga, mental mahasiswa dapat kokoh dalam menghadapi pengaruh brainwashing NII.

NII seperti organisasi sporadis yang mencekoki korbannya dengan doktrin mendirikan khilafah Islamiyah. Virus NII semakin sulit dibasmi karena sampai saat ini belum terdapat Undang Undang Intelijen dan Undang Undang Keamanan Negara berkenaan dengan pembasmian sindikat keagamaan. Padahal dua Undang-Undang ini merupakan infrastruktur krusial guna mencegah penyebaran NII. Jelas, vaksinasi mencintai NKRI menjadi penangkal sporadisasi NII sejak dini. Karena bisa saja sporadisasi NII telah memasuki abad eskpansi di kampus kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR ISLAM DI NEGERI NONMUSLIM (Biografi Prof. Dr. Nawir Yuslem, M.A.)

Jejak Sukses Pecinta Buku (Biografi Prof. Dr. Nur Ahmad Fadhil Lubis, M.A.)

BERJUANG DEMI ILMU (Biografi Prof. Dr. H. Ramli Abdul Wahid, M.A.).