Parodi Aduan Batin
9 Juni 2011- 19.24 WIB
Aku masih membelai pipimu, kidung.
Dengan tamparan bapakmu
yang menyisihkan rona merah kebiru-biruan di pipimu.
Mata sipitmu sayu. Kau mulai tertidur dengan
lantunan ayat yang selalu kukumandangkan untuk
mengiringi tidurmu.
Lalu, kau pulas. Aku memberhentikan
lantunan surah Luqman tepat
pada ayat ke 28. Dan meninggalkanmu sendiri. Hanya redup lampu dan irama jarum jam yang
menemanimu dalam mimpi-mimpi harum.
***
***
Akhir Juli 2001
Salat malam tak henti kulakukan selama tiga tahun masa
penantianku. Doaku hanya berisi untaian kata-kata kehadiranmu. Aku terkejut
setengah mati ketika dokter mengatakan aku positif hamil, mengandungmu. Bapakmu
juga riang. Berbulan-bulan kemudian, aku merasakan kau berkembang dari gumpalan
darah, darah bertulang, kepalamu berbentuk bersama lengan dan kaki-kakimu, kau
janin berbentuk sempurna saat itu diperutku. Kau menendang-nendang perutku. Aku
merasakan anugerah Ilahi akan lahir dari rahimku yang telah lama kosong
kerontang.
"Pak, anakmu nendang-nendang perutku."
"Bapak mau dengar buk!"
Bapakmu mendekatkan
telinganya ke perutku. Ia menguntai senyum- senyum kecil. Perasaan tak sabar
menantimu memancar dari wajah khas bataknya yang sangar. Bapakmu sering melukiskan
lukisan abstrak aneh seperti bayi. Aku pernah menanyakan. Ia bilang lukisan itu
tentang ilusi kelahiran kau, anak kami.
***
Aku menjerit melihat darah menjalar ke kakiku. Aku terpeleset di tangga. Terguling-guling sampai di anak tangga kedua terbawah. Bapakmu yang sedang melukis sontak menuju ke arahku. Panik. Aku dibawa ke rumah sakit dengan becak motor yang sering mojok di depan rumah kita. Kau yang baru berumur tujuh bulan terpaksa di-ceasar dari perutku. Kau masih hidup meski tubuhmu tak ubahnya botol sirup Marjan rasa cocopandan. Lahir prematur membuatmu harus diinkubasi. Matamu ditutup perban agar cahaya sinar berwarna biru yang menghangatkan tubuhmu tak merusak matamu. Kulihat kau tiap satu jam sekali. Aku ingin mendekapmu; memberi kehangatan.
Saat usiamu setahun, aku benar-benar menyadari kau tak normal Kidung. Matamu yang selama ini sipit seperti bangsa Mongol, telingamu besar mengantung, ‘jembatan’ hidung datar melebar, dan mulut sering menganga dibanjiri liur membuat tetangga menyebutmu idiot. Juga bapakmu. Aku sendiri enggan begitu. Kau baru saja bisa menyebut 'ibu' dan entah kapan kau bisa menyebut 'bapak'. Mungkin saja esok, seminggu lagi, setahun lagi atau bahkan tak akan pernah sama sekali. Yang kau bisa selain memanggilku, hanya menyebut 'bla...bla...bla...' merengek dan menunjukkan amarah dengan mencampak-campakkan benda di sekitarmu.
Di usia sembilan tahun, aku masih menyuapimu, mengganti
pakaianmu yang lengket dengan tahimu. Kau juga masih minta kugendong. Walau aku
tak kuat menggendongmu. Kau terus merengek sambil menarik baju gamisku yang
panjang terseret ke ubin. Kalau kau melompat, kau sering menariki cadar yang
teruntai menghijabi wajahku. Kau nakal sekarang, kau sempat menarik cadarku
saat tamu bapakmu datang ke rumah. Aku ingin marah, tapi gejolak keibuanku
melonjak menahannya. Aku mengelusmu, menasehatimu, kau sepertinya paham. Sedangkan
kalau kau marah, kau tak dapat mengontrol dirimu. Kau menyepakiku, aku terpental jatuh hingga pelipisku berdarah
terantuk ujung meja di ruang tamu kita. Aku tahu cara mujarab menenangkanmu: kau
tenang saat aku melantunkan ayat-ayat al-Quran. Khidmat dalam dekapan mantra-mantra suci Allah itu.
Aku mulai memahamimu.
***
Aku beberapa kali membawamu ke dokter saraf. Tatapan matamu tetap kosong hingga kini. Tapi ada secercah harapan dimatamu untuk sembuh. Walaupun dokter terburu-buru memvonis kau tak bisa sembuh.
"Maaf Bu! Anak ibu mengalami Lucinda Foundation karena kelainan kromosom yang termasuk sindrom
fragile. Penyakit ini tidak bisa sembuh. Tapi anak yang memiliki keterbelakangan
mental biasanya memiliki kelebihan yang tak dimiliki anak normal, hanya perlu
dilatih.”
Aku dirubungi kesedihan, tetapi tak setetespun air mataku jatuh. Aku akan menegari diriku
dengan mendekatkan jiwaku pada Allah. Kemudian aku pulang dengan kabar hambar
untuk bapakmu. Aku tahu bapakmu kecewa. Tapi tak sepatutnya ia murka padamu.
Aku sempat galau ketika ia desak aku menemui paranormal untuk mengobatimu. Saat
itu kau mengerti aku sedih. Kau menangis lirih.
'Aku tahu ini salah. Aku enggan pergi ke
dukun. Syirik. Tapi
bapakmu memaksa.'
Kau tak menjawab. Malah tangisanmu yang menggaung-gaung di
kamarmu yang semakin keras. Kita saling menatap lirih saat itu. Lalu air mata kita jatuh-jatuh mengaliri
pipi kita. Aku mengajakmu walau kau tak mau dan memaksa dirimu untuk mau. Bapakmu,
aku dan kau menuju pelosok kampung. Dukun itu memeriksamu dan menyemburimu
dengan air putih dari bejana tanah liat yang permukaannya terdapat sejumlah rupa
bunga itu. Lalu, dia menaburimu dengan bunga kenanga yang dicampuri minyak
nyonyong yang menusuk hidung. Kau berontak memecahkan
kehampaan rumah gelap dukun itu.
Semua alat perdukunannya kau sepak-sepak. Hanya aku yang bisa menenangkanmu.
Bapakmu cuma melotot dengan tatapan muak bercampur amarah melihatmu. Sementara
si dukun diam sejenak lalu melontarkan kata,
"Anakmu gila. Gila
karena memedi merasukinya."
Kita pulang. Sesampainya di rumah, bapakmu melibasimu dengan sabuk kulit ular kobra yang selalu melekat di pinggangnya. Kau menjerit kesakitan dan menangis. Bapakmu melampiaskan kemuakannya melihatmu, anak satu-satunya yang lama ia idamkan.
"Dasar anak tak berguna, idiot!"
Bapak membentakmu yang saat itu sudah bercap-cap sabuk,
merah, panjang-panjang. Setelah kejadian itu. Kau tetap tak menaruh dendam pada bapakmu. Aku lagi-lagi
menenangkanmu dengan mantra ayat-ayat suci. Lalu mendoakanmu seusai salat Asar,
kau mendengar doa- doaku, memberi semangat untuk hidup sebagai Kidung.
Selepas peristiwa itu, aku menyuruhmu pergi menemui bapakmu.
"Minta maaf sama bapak sana." Sepertinya kau mengerti apa maksudku,
maksud bapakmu, dan perasaanmu. Dengan tertatih-tatih kau berjalan menemui
bapakmu yang sedang melukis ufuk senja saat itu. Kau mencium tangan bapakmu
hingga air liurmu melumuri tangannya. Bapakmu terlihat iba. Matanya berkaca-kaca.
Seketika kemaafannya kau rasakan, kau memintanya melukismu
dengan gerakan tubuh yang menunjuki wajahmu dan kanvas putih. Bapakmu paham. Ia mengganti kanvas.
Perlahan-lahan ia membuat sketsa wajahmu. Menyepuhnya dengan kuas bertinta warna-warni. Dan lukisan yang
kau inginkan selesai.
Kau tertawa sekonyong-konyongnya. Tapi bapakmu menatap lukisan wajahmu dengan
rasa malu. Aku melihat tatapan bapakmu. Lalu kau meminta lukisan itu digantung
di galerinya. Tanpa berkata-kata bapakmu menuruti. Itu bukti rasa sayang
bapakmu yang tak dapat dia tutup-tutupi.
Setiap pembeli datang ke galeri bapakmu, lukisan wajahmu
selalu diminati pembeli. Bahkan ada kolektor lukisan yang berani membayar harga
tinggi.
"Maaf ini tidak dijual."
"Kenapa? Ini lukisan anak idiot yang begitu artistik."
"Ini lukisan anakku."
Aku datang bersama kau.
"Jual saja Pak. Nanti kidung bisa dilukis lagi."
Kau juga menyetujui apa yang aku ucapkan. Kulakukan untuk
biaya masuk sekolahmu.
***
Enam bulan lalu kau mulai bersekolah.
Aku mendaftarkan kau di SLB Melati. Maaf, aku tak berhasil menyekolahkanmu di
sekolah anak normal karena kondisimu yang tak dapat diterima oleh lima kepala
sekolah yang aku datangi. Tapi kau tetap senang di sekolahmu, mempunyai banyak
teman serupamu. Kau dan teman-temanmu punya dunia abstrak sendiri. Komunikasi kalian lancar, saling
mengerti layaknya anak normal berkomunikasi. Meski sering saling memandang dan
sedikit ocehan tak jelas. Kau senang, akupun juga. Tapi aku tak tahu isi hati
bapakmu.
Dulu, anak-anak tetangga aku perkenalkan pada dirimu. Tapi
mereka enggan menemanimu bahkan mereka menangis melihatmu dan tak jarang
anak-anak nakal mengejekmu "idiot". Anak temanku sendiri yang aku
kenalkan padamu, lari cicing melihatmu. Ibunya-temanku-juga menunjukkan keengganannya
mendekatimu. Aku sabar menatap perihnya hatimu.
Namun sekarang kau semakin riang setelah
mempunyai teman baru. Kau ceria. Itu yang membuatku menyemangati diri untuk
mempelajari perkembanganmu. Aku membaca buku-buku tentang perawatan anak
sepertimu. Aku masih ingat jelas ucapan dokter yang pernah kita temui, kau
memang tidak bisa normal tapi kau bisa hidup mandiri dengan keahlian yang
terlatih. Aku rutin membaca buku. Di sebuah buku diceritakan bahwa anak sepertimu ada juga yang bisa
bermain alat musik. Buku ini menginspirasiku untuk menggali bakatmu.
Gurumu pernah mengatakan, kau berbakat menggambar. Aku
memerhatikanmu. Saat gurumu mengabarkannya, aku terkejut. Dia mengajakku melihat
karyamu. Dalam pikiranku dia cuma bergurau; kau hanya akan mencoret-coret kertas gambarmu. Tapi dia
berkata benar, kau bisa menggambar. Dia menunjukkan gambarmu ditempel di
dinding kelasmu bersanding dengan
gambar lainnya. Gambarmu terlihat cantik. Kau menggambar kita: kau, aku dan bapakmu, yang saling bergandengan. Kali ini aku menangis bangga. Rasa sabar dari cintaku selama ini berbuah senyum manis. Aku yakin man shabara zhafira. Saat itu Allah benar-benar menunjukkan kuasanya.
gambar lainnya. Gambarmu terlihat cantik. Kau menggambar kita: kau, aku dan bapakmu, yang saling bergandengan. Kali ini aku menangis bangga. Rasa sabar dari cintaku selama ini berbuah senyum manis. Aku yakin man shabara zhafira. Saat itu Allah benar-benar menunjukkan kuasanya.
***
16 Juni 2011- 18.04 WIB
Senja itu semakin memerahkan langit-langit. Bapakmu semakin
gesit mengoleskan
kuas ke kanvas bersketsa itu. Itu adalah waktu favoritnya melukis.
Aku yakin kau bisa mahir menggambar karena dalam darahmu mengalir darah seni bapakmu. Kau sedang bermain
dengan mobil-mobilan di depan televisi sambil sesekali menatap iklan produk
yang diperankan balita. Aku memanggilmu.
"Kidung, sana belajar menggambar sama bapak."
Kau melihat bapakmu. Tersenyum ambisius. Aku malah menuju
dapur membuatkan kopi untuk bapakmu dan susu untukmu. Perasaaanku berbeda.
Lekas-lekas kutuang susu ke gelas berwarna bening, kopi dan gula
jagung ke gelas berwarna cokelat tua bercorak bunga mawar. Lalu kuaduk cepat-cepat. Hingga suara dentingan gelas kaca
dan sendok stainless steel memecah
kesunyian.
Kau menunjuk-nunjuk lukisan. Pertanda kau ingin mencoba
menggambar. Bapakmu rupanya teramat serius. Kau merengek. Ia pasti tak
memedulikanmu. Aku dengar rengekanmu dari dapur. Aku semakin tergesa-gesa
karena khawatir menuju ke ruang
dimana ada kau, bapakmu, dan kanvas yang sudah berwarna.
Kau mencampakkan botol-botol berisi cat ke lukisannya yang
hampir kelar dibuat bapakmu serta merobek kanvas itu. Bapakmu murka karena
lukisannya rusak. Pipimu ditamparnya sekuat-kuatnya; lebih kuat
daripada sepekan kemarin. Kau terpental ke dinding di bawah jendela kayu kita. Lalu, dari
kepalamu muncrat darah merah marun-
perpaduan darahku dan bapakmu. Kau tak
sadarkan diri.
Kulihat seperempat adegan itu. Dua gelas berisi minuman
kalian jatuh terpecah, bersamaan dengan hembusan napas terakhirmu Kidung,
anakku.
Cerita di atas dapat kamu baca beserta cerita lain yang nggak kalah serunya di buku ini:
Komentar
Posting Komentar